Sejak masa perkenalan, aku dan suami sepakat untuk santai saja tentang kehadiran anak. Tergantung kapan Allah kasih saja. Tidak harus secepat-cepatnya. Tidak juga menunda-nunda tanpa alasan. Setelah menikah, ternyata Allah beri kami jeda. Kami pun menyambut baik jeda tersebut untuk lebih saling mengenal dan menyamakan langkah. Saat itu pun, kami masih sama-sama bekerja full time. Sampai pada satu titik, dimana kami (lebih tepatnya aku), mulai memikirkan kehadiran anak di pernikahan kami.

Titik dimana aku mulai merasa sepertinya kami berdua butuh sesuatu yang lebih dari hari-hari kami yang biasa. Seperti membutuhkan satu keping puzzle lagi agar rumah tangga ini berjalan dengan maksimal. Butuh hubungan yang naik kelas. Konsekuensinya tentu sepaket dengan peran, kewajiban, dan tantangan baru.

Setelah anak hadir dan kami menjalankan peran sebagai orang tua, barulah aku sadar bahwa ternyata kehadiran anak tidak hanya tentang naik kelasnya hubungan pernikahan kami ke tahap selanjutnya. Ternyata ini semua benar-benar babak baru dalam hidup. Babak yang dimulai dengan transformasi diri besar-besaran yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Inilah beberapa hal tentang kehadiran anak yang baru aku pahami setelah menjalankan peran sebagai orang tua

  1. Setiap pasangan punya alasan personalnya masing-masing tentang keinginan memiliki anak

Pernah gak mendengar seseorang yang mengomentari alasan sepasang suami-istri ingin memiliki anak? Menilai alasan pasangan tersebut tidak “wah”, tidak filosofis, tidak logis, tidak cukup besar untuk dijadikan alasan memilliki anak, atau bahkan bisa sampai menilai orang tuanya tidak layak memiliki anak.

Setelah menikah dan menjadi orang tua, barulah aku sadari bahwa mengomentari alasan personal seseorang menginginkan anak adalah komentar yang tidak pada tempatnya. Setiap pasangan itu unik, yang otomatis akan memunculkan beragam alasan mengapa mereka ingin memiliki anak. Keputusan atau keinginan ini adalah ranah personal pasangan tersebut. Keputusan yang lahir dari kumpulan rasa, keinginan, harapan, perhitungan, dan beragam dorongan lainnya yang dinilai penting untuk mereka berdua.

Jika alasan-alasan mereka terdengar “receh” atau “aneh” untuk kita, ya kan ini memang bukan urusan kita. Ini urusan mereka dan tanggung jawab mereka. Urusan kita adalah, pastikan kita dan pasangan mendiskusikan apa alasan kita ingin memiliki anak. Diskusikan dan sepakati berdua. Lalu putuskan berdasarkan semua buah pikir, nilai-nilai, harapan kita berdua pula. Itulah buah cinta. Ia lahir dari rasa cinta, kesatuan pikiran, dan harapan kedua orang tuanya.

Lebih mendasar dari itu semua, bahkan tanpa rasa ingin atau rasa siap sekalipun, sebenarnya anak tetap dapat “tiba-tiba hadir” bukan? Jadi pahami bahwa keputusan-keputusan rumah tangga itu selalu unik. Jadikan alasan-alasan unik setiap pasangan tersebut sebagai bahan diskusi dengan pasangan untuk menemukan keputusan paling tepat untuk hubungan kita juga.

2. Setiap pasangan punya pemaknaannya masing-masing tentang anak

Ada yang menyebut anak sebagai kebahagiaan, ada yang menyebut anak sebagai investasi, ada yang menyebut anak sebagai anugrah, sebagai sebuah misi, sebagai harta, harapan, tujuan, ikatan, sebuah jalan, daan makna-makna lainnya.

Tiap pasangan akan memiliki makna masing-masing meski kata yang disebutkan sama. Misal pemaknaan bahwa anak bermakna investasi. Ada pasangan yang memaknai investasi semua pengasuhan dan pendidikan yang dilakukan untuk anak akan bernilai pahala yang menjadi tabungan amal bermanfaat untuk dirinya di akhirat kelak. Tapi ada juga yang menganggap investasi sebagai benar-benar investasi materi. Soal pemaknaan pun, akan kembali lagi pada pemahaman dan nilai-nilai personal tiap pasangan itu. Bahkan suami dan istri pun bisa memiliki pemaknaan yang berbeda tentang anak.

3. Peran suami-istri dan sebagai ayah-ibu adalah peran yang berbeda

Peran dan tanggung jawab sebagai suami-istri dengan peran dan tanggung jawab sebagai orang tua adalah dimensi yang berbeda. Setelah belajar menjadi pasangan, kita belajar lagi menjadi orang tua. Kini kita memerankan keduanya sekaligus di satu waktu. Sebagai pasangan bagi suami/istri kita sekaligus sebagai orang tua bagi anak. Kita belajar lagi. Penyesuaian lagi. Pertambahan peran ini jelas membuat hidup kita lebih kompleks. Tapi peran dan tanggung jawab ini ternyata membuka dunia baru yang memperkaya pengalaman diri.

Bagiku pribadi, menjadi orang tua memanglah challenge lebih lanjut dari tahap menjadi suami dan istri. Peran dan tanggung jawab sebagai orang tua membuka sisi baru dalam diri kita. Ternyata, kita tumbuh bersama peran dan tanggung jawab itu. Semua pola pikir, rasa, dan sikap sebagai orang tua muncul dan terasah seiring kehadiran anak di tengah-tengah kita. Menjadi orang tua benar-benar menjadi kerja tim untuk misi yang sama. Perjalanan menjadi orang tua sekaligus merawat peran suami-istri bukanlah perkara mudah. Tapi perjalanan ini sangat layak untuk kita pilih. Transformasi terbesar dalam diri yang sangat layak untuk kita tempuh. Tidak mudah, tapi sangat bernilai.

4. Kehadiran anak menjadi motivasi hidup terbesar

Kehadiran anak memberi kami ikatan yang kuat dan fokus bersama untuk jangka panjang. Sebuah prioritas bersama paling atas yang menjadi pusat keputusan-keputusan bersama ke depannya. Misi pemenuhan hak anak sebagai prioritas utama menjadi nafas aktivitas harian kita baik suami maupun istri. Harapan yang muncul tentang anak menjadi motivasi kita sebagai orang tua untuk menyiapkan kehidupan kita dan juga hidup anak ke depannya. Mulai dari menetapkan pendidikan di rumah, mencari lingkungan anak untuk tumbuh, melingkari ia dengan lingkungan yang terjaga, menyiapkan dana pedukungnya, ikut belajar agar mampu membukakan berbagai jalan, dan sebagainya.

Hadirnya anak dan komitmen kita terhadap tanggung jawab menjadi orang tua akan mendorong kita untuk terus berbenah diri. Belajar hal yang belum pernah dipelajari. Mengeluarkan sisi-sisi diri yang belum pernah kita keluarkan. Jangan terburu-buru memvonis diri sendiri. Berpikir harus menjadi manusia sempurna dulu baru layak menjadi orang tua. Kalau seperti itu, dapat dipastikan tidak akan ada manusia yang menjadi orang tua. Jangan pula terburu-buru memvonis diri tidak cocok dengan anak-anak, tidak sabar dengan anak-anak, tidak bisa berkomunikasi dengan anak-anak, dll. Percayalah bahwa kita manusia memiliki daya adaptasi. Selagi membuka diri mempelajari hal-hal baru, kita akan beradaptasi dengan itu semua.

5. Bicara tentang anak, bicara tentang masa depan

Setelah punya anak, masa depan terasa begitu dekat. Masa depan menjadi suatu kenyataan yang harus disiapkan sejak hari ini. Tiba-tiba sisa umur (yang semoga diberi belasan dan beberapa puluh tahun lagi) terasa seperti akan sangat singkat. Tiba-tiba takut ajal mendekat dan tak sempat menuntaskan tugas sebagai orang tua. Tiba-tiba kata seumur hidup bukan lagi kata yang abstrak. Kata sisa umur, masa depan, seumur hidup adalah masa yang sebentar lagi kita hampiri.

Anak membuat masa depan itu menjadi sangat dekat dan jelas. Bahkan melampaui sisa umur kita. Sehingga sisa umur ini seperti tidak cukup untuk menyiapkan masa depan itu. Hadirnya anak membuatku memikirkan masa depan seperti apa yang kita inginkan. Tidak hanya tentang hidup anak kita sendiri, tapi juga dunia seperti apa yang akan ia hidupi dan hadapi.

Saat kita hanya menjadi orang dewasa, kadang kita sudah tidak peduli lagi dunia ini akan mengarah ke kemajuan atau kehancuran. Karena kita sudah bisa menilai, memilah, memilih. Sedangkan anak-anak, mereka butuh lingkungan yang mendukung. Memikirkan masa depan anak ternyata sepaket dengan masa depan lingkungan yang kita inginkan. Mengupayakan masa depan anak ternyata mengupayakan juga masa depan lingkungan yang kita inginkan.

Kita jadi punya impian dan keinginan kuat bahwa anak-anak kita harus tumbuh di dunia yang waras dan menjalankan nilai-nilai baik, demi tumbuhnya generasi seterusnya yang bermutu. Tentu tidak bisa steril dari hal-hal negatif, tapi bukankah anak-anak memang berhak untuk tumbuh di lingkungan yang baik? Kitalah sebagai orang dewasa yang menciptakan dan menjaga agar mereka bisa menikmati lingkungan yang baik itu.

Hal-hal ini sungguh baru tersadarkan setelah benar-benar menjadi orang tua. Semoga Allah mampukan kita menjadi orang tua yang amanah ya 🙂 Kalau kamu setuju yang nomor berapa nih tentang kehadiran anak? Share juga yuk apa aja yang baru teman-teman sadari tentang kehadiran anak setelah menjadi orang tua! 🙂

Gita Nadia Parenthood

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *