Ternyata mencari dokter anak yang cocok juga butuh perjuangan ya. Cocok sama tipe dokternya, cocok juga budget kita dengan biaya-biayanya. Bingung gak sih gimana menentukan dokter yang cocok?
Perjalanan mencari Dokter Anak yang cocok buatku punya ceritanya tersendiri. Saat anak pertama lahir sebenarnya gak terlalu memikirkan dan milih-milih dokter mana yang menangani. Toh keperluan awal bayi sehat “hanya” mengecek kondisi saat anak lahir, imunisasi, dan memantau semua perkembangannya dari bulan ke bulan. Aku gak merasa harus selektif banget memilih karena Alhamdulillah saat anak pertama masih bayi, tergolong bayi sehat. Sampai tiba masanya anak mulai bolak balik batuk pilek. Benar-benar hanya selang 1-2 bulan balik lagi batuk pilek. Belum lagi permasalahan berat badan yang kurang.
Dokter yang pertama laki-laki dan orangnya tenang-tenang saja. Lebih ke irit bicara. Jadi kita yang harus bertanya dan meminta penjelasan. Dokternya tidak pernah menyinggung soal berat badan anak yang kurang. Benar-benar sesuai keluhan saat datang saja. Lama-lama aku merasa bosan dan merasa perlu ganti dokter untuk meminta saran menaikan berat badan anak. Kupikir kalau dokternya perempuan mungkin akan lebih “perhatian”.
Setelah ganti ke dokter perempuan, ternyata yang ada semakin pusing dengan warning yang diberikan. Saat aku minta saran bagaimana harus memperbaiki permasalahan MPASI anak pertama, jawabannya harus balik ke feeding rules. Semua permasalahan makan anak ku menurutnya hanya akan selesai dengan feeding rules. Aku sudah hopeless sekali. Awalnya berharap bisa dibantu untuk gali dan evaluasi. Aku sudah siap banget kalau ditanyakan ini itu demi bisa menemukan awal masalahnya dan mencari solusinya. Ternyata berakhir dengan muter-muter disalahkan penerapan feeding rulesnya tidak benar.
Masih konsul di dokter yang sama persoalan batuk-pilek anak, ujung-ujungnya beliau mengarahkan untuk cek lab untuk tes TB (tuberkolosis). Padahal berdasarkan observasiku dan apa yang aku baca tentang pro-kontra tes TB, intuisiku bilang bahwa anakku tidak sampai ke tahap TB. Jadi aku menolak untuk lanjut pada dokter yang sama. Lalu pindahlah ke Rumah Sakit lain dan coba ke dokter laki-laki yang cukup senior. Pasiennya banyak. Setelah konsul perihal batuk pilek berulang, dokter ini menyarankan untuk tes alergi dan tes TB. Kalau tes alergi aku masih oke lah, meski tidak berniat dilakukan dalam waktu dekat. Setelah selesai, saat menebus obat di apotek baru sadar kalau obat-obatan yang beliau resepkan itu kok ya mahalnya keterlaluan haha. Padahal kan ada obat yang sama dengan merk lain yang harganya di bawah itu. Alhasil aku tidak lanjut lagi dengan dokter tersebut karena merasa sepertinya dokter ini standar merk obatnya memberatkan keuangan.
Lanjutlah ganti dokter ke Rumah Sakit lain lagi. Kami konsultasi ke dokter anak yang ternyata favorit sekali di kota ini. Sebut saja Dokter J. Pasiennya luar biasa banyak. Saat pertemuan pertama, berjalan baik meski ada beberapa ganjalan di hati. Kami minta pendapat beliau apakah perlu melakukan tes TB, karena aku sangat yakin bukan perihal TB. Dokter ini sepakat bahkan mengapresiasi. Kalau menurut beliau, anak ku ini mungkin ada permasalahan alergi dan sepertinya tidak bisa kelelahan. Menurut beliau tidak perlu ada rongent ataupun tes TB. Banyak memang dokter hari ini yang langsung saja menyuruh tes TB tanpa melihat kondisi dan riwayat kesehatan anak dan keluarga. Beliau mengapresiasi aku yang yakin tidak perlu tes TB di saat banyaknya orang tua langsung nurut saja padahal menurut beliau belum saatnya atau bahkan gak ada indikasi ke arah sana. Bahagia sekali dong ya. Setelah diberikan obat pun, alhamdulillah sekali ternyata dari segi biaya pun sangat masuk akal. Anak juga cocok dengan obat yang diberikan. Alhamdulillah..
Sejak bertemu Dokter J, aku mulai memantau makanan anak, menyingkirkan barang-barang yang kemungkinan menyebabkan alergi, dan mengimbangi aktivitas fisiknya dengan istirahat. Pokoknya menjaga kondisi anak supaya tidak terlalu lelah. Sampai suatu hari anak demam, batuk-pilek, dan napasnya berat sekali. Aku sempat terbersit, kok gerak napasnya seperti asma. Aku agak sedikit kaget dengan feelingku sendiri. Saat kulihat anak ini napasnya semakin cepat, akhirnya aku putuskan bawa ke IGD. Saat di IGD, dokter yang jaga mengonfirmasi bahwa anakku beneran Asma. Ooh jadi ini toh permasalahan selama ini. Barulah semuanya terasa masuk akal. Makanan-makanan pemicu, tidak boleh kelelahan fisik, benda-benda pemicu pilek, tidak bisa kedinginan, dan hal-hal lainnya. Benar apa kata Dokter J. Meski saat ketemu beliau dulu belum ada tanda-tanda sesak napas atau bunyi mengi pada anak.
Berlanjutlah anak ku dengan Dokter J untuk beberapa saat. Sampai suatu saat aku sudah hamil anak kedua di usia 6 bulan kehamilan, saat itu anak pertama kembali asma, demam yang bandel, batuk-pilek. Yang biasanya anak ini terus-terusan bergerak, tapi di hari itu kondisinya udah lemas. Mungkin lagi di puncak-puncaknya asma. Di saat yang sama kami kehabisan obat dan apotek yang biasa menyediakan juga stoknya sedang kosong. Kembalilah kita ke Dokter J, beliau bilang bahwa kondisi anak pertama masih oke. Tidak perlu rawat inap, tidak perlu obat-obatan lain. Tetap obat seperti biasa dan istirahat yang banyak. Tidak boleh beraktivitas fisik dulu seperti lari-lari, loncat-loncat, atau apa pun yang membuat dia kelelahan.
Mungkin wajahku saat itu terlihat khawatir, yang menurut beliau aku terlalu mengkhawatirkan. Tiba-tiba suasana berubah, beliau ngomel sepanjang-panjangnya intinya bahwa case anak ku ini case ringan. Tidak perlu bereaksi berlebihan atau khawatir berlebihan. Ada begitu banyak penyakit anak-anak lain yang lebih parah. Saking panjangnya beliau ngomel bahkan melebar kemana-mana, aku cuma bisa bilang “iya dok.. baik dok..”. Harap diingat bahwa saat itu aku sedang hamil anak ke dua. Sakit hati sekali rasanya. Keluar ruangan dokter itu dengan menahan air mata karena dimarah-marahin padahal sedang hamil dan anaknya yang pertama sedang asma. Bagi dokternya mungkin aku terlalu lebay, tapi di hari itu rasanya panjaang sekali. Karena aku sudah tidak bisa tidur dari tengah malam karena memantau kondisi anak. Pagi-pagi segera ke IGD untuk minta nebulizer. Setelah itu siangnya masih menunggu lagi jadwal dokternya datang dan menunggu giliran konsultasi. So, it was a long day for me. Lalu dengan mudahnya di judge lebay. Bahkan sekarang mengingat kejadian itu pun aku tetap sakit hati. Keluar ruangan itu langsung yakin untuk kembali mencari dokter lain lagi.
Sampailah akhirnya pindah ke dokter anak yang lain lagi. Dokter laki-laki sudah lebih senior. Cara ngomong beliau lembut sekali. Mau menjelaskan dengan sabar ke orang tua dan sabar dengan tingkah anak-anak. Meski tetap kitanya yang harus menanyakan apa yang kita perlu tanyakan. Keinginanku saat itu cuma satu, plis tolong jangan marah-marahin saya. Saya capeek. Obat yang diberikan pun kurang lebih sama dengan yang Dokter J berikan. Jadi untuk sementara alhamdulillah anak dan aku sebagai orang tua cocok dengan dokter yang sekarang. Apakah dokternya udah oke banget? Ya pasti ada kekurangannya juga. Misal perihal cuci hidung saat anak pilek. Aku menunggu dokter ini membahas hal ini. Setelah ditunggu-tunggu tapi beliau tidak menyebut praktek cuci hidung. Jadi aku yang memutuskan bertanya pendapat beliau mana yang lebih baik antara cuci hidung atau nebulizer agar bisa melegakan pernapasan untuk bayi kecil. Setelah ditanya, barulah beliau menjelaskan dan beliau membolehkan. Aku cuma jadi bertanya-tanya aja, kenapa beliau tidak menyentuh topik itu sama sekali sejak awal. Yah anggap saja dokternya lelah atau lupa. Baiklah..
Dari cerita gonta-ganti di atas, kalau aku sendiri akhirnya memutuskan untuk tetap bersama dokter anak yang terakhir karena jawaban atau penjelasan yang beliau sampaikan bisa aku mengerti dan sejalan dengan artikel kesehatan yang aku baca (jawaban beliau bisa kita cross-check), pembawaan diri beliau yang sabar dan lembut, beliau juga menjawab dengan jelas mana yang perlu dan tidak perlu dilakukan, resep obat yang diberikan alhamdulillah cocok dengan anak, secara biaya keseluruhan aman dengan kondisi finansial. Apakah merasa ingin ganti dokter lagi? Kalau nanti ada momentum yang membuat aku tidak puas ya bisa aja cari lagi dokter anak yang lain hehe. Sejauh ini sudah sangat bersyukur anak masih sakit yang kategorinya umum, masih ada uang untuk konsultasi dokter, bertemu dokter yang memberikan resep yang sejauh ini alhamdulillah cocok, tidak dibuat pusing dan tertekan setelah konsultasi, dan hal baik lainnya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat
(Segala puji hanya milik Allah yang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna)
Kalau dari segi harapan, sebenarnya kadang kita sebagai orang tua ini sudah berusaha yang kita bisa, sejauh yang kita tahu dan mampu, tapi kadang sudah buntu, sehingga perlu konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan solusi. Tapi ternyata gak semua dokter bisa bersabar untuk itu. Saat orang tuanya tidak punya cukup pengetahuan, dokter marah. Saat orang tuanya banyak bertanya meminta pendapat karena overwhlemed dengan banyaknya informasi, dokter juga marah. Malah dikira kita ini sok tahu dan sok ngide ngelakuin ini itu. Padahal maksudnya bertanya adalah untuk mendapatkan jawaban yang jelas untuk kita menyeleksi informasi yang kita dapat.
Saat orang tua panik atau mudah terbawa perasaan (terutama para ibu) di judge lebay. Saat semua usaha sudah dicoba sebatas yang kita bisa tapi ternyata belum ada hasilnya, bukannya membantu menggali masalah dan memberikan solusi malah sibuk menyalahkan orang tua yang salah ini dan kurang itu. Suka jadi bingung, apakah mereka gak merasakan posisi sebagai orang tua gitu ya? Kok minim empati sekali? Kami cuma orang awam yang disuruh menjadi dokter sekaligus perawat pribadi untuk anak sendiri. Sudah pasti banyak salah dan kurangnya. Kok malah di-judge dengan standar pengetahuan dan ketenangan seorang dokter? Ya ga mungkin bisa nyamain.
Semoga manteman semua menemukan dokter anak atau nakes yang cocok yaa untuk semua urusan seisi rumah tangga ini. Mulai dari dokter kandungan, bidan, dokter anak, dokter untuk penyakit-penyakit khas orang dewasa atau penyakit pada lansia. Semoga kita dipertemukan dengan dokter-dokter yang ramah, lembut, jujur, kompeten, dan berempati sama pasiennya. Bersamaan dengan itu, kita sebagai pasien atau pendamping pasien wajib bantu dokter dengan memberikan informasi dengan cara yang efektif terkait keluhan yang dikonsultasikan. Supaya dokter juga bisa terang-benderang dan cepat menilai situasi. Selain dokter yang belajar berkomunikasi dengan pasien, pasien juga belajar berkomunikasi dengan dokter.
Kalau kamu ada cerita apa tentang dokter anak? Apa yang jadi dasar kamu merasa oke untuk stay atau memutuskan pindah dari dokter anak yang kamu datengin? Sehat-sehat semuanyaa 🙂