Ternyata mencari dokter anak yang cocok juga butuh perjuangan ya. Cocok sama tipe dokternya, cocok dengan resep obat yang diberikan, cocok juga dengan biaya-biayanya. Bingung gak sih gimana menentukan dokter yang cocok?

Perjalanan mencari Dokter Anak yang cocok buat kami punya ceritanya tersendiri. Saat anak pertama lahir, sebenarnya gak terlalu memikirkan dan milih-milih dokter mana yang menangani. Toh keperluan awal bayi sehat lebih kepada pengecekan umum kondisi saat anak lahir, imunisasi, dan memantau semua perkembangannya dari bulan ke bulan. Aku gak merasa harus selektif banget memilih karena Alhamdulillah saat anak pertama masih bayi, tergolong bayi sehat. Sampai tiba masanya anak mulai bolak balik batuk pilek. Benar-benar hanya selang 1-2 bulan balik lagi batuk pilek. Belum lagi permasalahan berat badan anak yang kurang.

Dari satu dokter ke dokter yang lain punya ceritanya masing-masing

  1. Dokter pertama
    Dokter laki-laki dan orangnya tenang-tenang saja. Lebih ke irit bicara. Jadi kita yang harus bertanya dan meminta penjelasan. Dokternya tidak pernah menyinggung soal berat badan anak yang kurang. Benar-benar sesuai keluhan saat datang saja. Kalau kita tidak bertanya, benar-benar tidak akan ada edukasi. Karena beliau tidak pernah membahas hal lain di luar keluhan, aku pun bingung apakah anakku baik-baik saja atau tidak. Dengan alasan itu, aku cari saja dokter lain untuk meminta saran tumbuh kembang anak dan sejenisnya.
  2. Dokter ke-2
    Saat bertemu dengan dokter ke-2, ternyata yang ada semakin pusing dengan warning demi warning yang diberikan. Saat aku minta saran bagaimana harus memperbaiki permasalahan MPASI anak pertama, jawabannya klasik sekali, harus balik ke feeding rules. Awalnya aku berharap bisa dibantu untuk gali dan evaluasi. Aku sudah siap banget kalau ditanyakan ini itu demi bisa menemukan awal masalahnya dan mencari solusinya. Kalau pun masalahnya ada di feeding rules, masalah di bagian mana sehingga sarannya harus apa. Itu saja tidak beliau bahas. Ditambah lagi dokternya langsung mengarahkan cek lab ini itu. Padahal permasalahan yang utama tentang masalah makan saja belum digali, sudah diarahkan untuk cek ini itu yang biayanya bukanlah murah meriah
  3. Dokter ke-3
    Lalu pindahlah ke Rumah Sakit lain dan coba ke dokter yang cukup senior. Dokter ke-3 ini pasiennya banyak. Setelah konsul perihal batuk pilek berulang, dokter ini menyarankan untuk tes alergi dan juga tes TB. Kalau tes alergi aku masih oke lah, meski tidak berniat dilakukan dalam waktu dekat. Setelah selesai, saat menebus obat di apotek baru sadar kalau obat-obatan yang beliau resepkan itu kok ya mahalnya keterlaluan haha. Padahal kan ada obat yang isinya sama dengan merk lain yang harganya di bawah itu. Alhasil aku tidak lanjut lagi dengan dokter tersebut karena merasa sepertinya dokter ini standar merk obatnya memberatkan keuangan.
  4. Dokter ke-4
    Lanjutlah ganti dokter ke Rumah Sakit lain lagi. Dokter ke-4 ini ternyata dokter anak legend yang favorit sekali di kota ini. Sebut saja Dokter D. Pasiennya luar biasa banyak. Saat pertemuan pertama, berjalan baik meski ada beberapa ganjalan di hati dari cara komunikasinya. Kami minta pendapat beliau apakah perlu melakukan tes untuk deteksi tuberculosis (TB), karena beberapa dokter sebelumnya terus menyebut tes tersebut. Padahal aku yakin, permasalahan batuk pilek berulangnya dan berat badannya yang bermasalah bukanlah perihal TB. Dokter ini sepakat bahkan mengapresiasi. Kalau menurut beliau, anak ku ini ada permasalahan alergi dan sepertinya tidak bisa kelelahan. Menurut beliau tidak perlu melakukan rongent ataupun tes TB. Beliau hanya menyarankan menjaga stamina anak dan jauhkan dari debu dan pemicu alergi lainnya. Alhamdulillah anak juga cocok dengan obat yang beliau berikan.
    Sampai suatu hari tiba-tiba beliau mengeluarkan sisinya yang sangat tidak aku sukai. Saat itu anak pertamaku lemas karena asmanya yang kambuh. Mungkin wajahku saat itu terlihat khawatir, yang menurut beliau aku khawatir berlebihan. Beliau ngomel sepanjang-panjangnya intinya bahwa case anak ku ini case ringan. Tidak perlu bereaksi berlebihan atau khawatir berlebihan. Ada begitu banyak penyakit anak-anak lain yang lebih parah. Saking panjangnya beliau ngomel bahkan melebar kemana-mana, aku cuma bisa bilang “iya dok.. baik dok..”.
    Padahal saat itu aku sedang hamil anak ke dua. Aku sudah tidak bisa tidur dari tengah malam karena memantau kondisi anak. Pagi-pagi sekali segera ke IGD untuk minta nebulizer. Berjam-jam di IGD menunggu anak sampai lebih stabil. Setelah itu siangnya masih harus menunggu lagi jadwal beliau datang dan menunggu giliran konsultasi. So, it was a long day for me. Lalu dengan mudahnya di judge lebay. Bahkan sekarang mengingat kejadian itu pun aku tetap sakit hati. Keluar ruangan itu langsung yakin untuk kembali mencari dokter lain lagi.
  5. Dokter ke-5
    Sampailah akhirnya pindah ke dokter anak yang lain lagi. Dokter ke lima ini adalah dokter laki-laki yang sudah lebih senior. Cara ngomong beliau lembut sekali. Mau menjelaskan dengan sabar ke orang tua dan sabar dengan tingkah anak-anak. Meski tetap kitanya yang harus menanyakan apa yang kita perlu tanyakan. Keinginanku saat itu cuma satu, plis tolong jangan marah-marahin saya. Saya capeek. Obat yang diberikan pun kurang lebih sama dengan yang Dokter D berikan. Jadi untuk sementara alhamdulillah anak dan aku sebagai orang tua cocok dengan dokter yang sekarang.

Apakah dokternya udah oke banget? Ya pasti ada kekurangannya juga. Tapi dari perjalanan sebelumnya, aku sendiri memutuskan untuk tetap bersama dokter anak yang terakhir karena jawaban atau penjelasan yang beliau sampaikan bisa aku mengerti, sejalan dengan artikel kesehatan yang aku baca (jawaban beliau bisa kita cross-check), pembawaan diri beliau yang sabar dan lembut, beliau juga menjawab dengan jelas mana yang perlu dan tidak perlu dilakukan, resep obat yang diberikan alhamdulillah cocok dengan anak, secara biaya keseluruhan aman dengan kondisi finansial.

Apakah merasa ingin ganti dokter lagi? Kalau nanti ada momentum yang membuat aku tidak puas ya bisa aja cari lagi dokter anak yang lain hehe. Sejauh ini sudah sangat bersyukur anak masih sakit yang kategorinya umum, masih ada uang untuk konsultasi dokter, bertemu dokter yang memberikan resep yang sejauh ini alhamdulillah cocok, tidak dibuat pusing dan tertekan setelah konsultasi, dan hal baik lainnya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat

(Segala puji hanya milik Allah yang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna)

Kalau dari segi harapan, sebenarnya kita sebagai orang tua ini sudah berusaha sejauh yang kita bisa, sejauh yang kita tahu dan mampu, tapi sudah buntu, sehingga perlu konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan solusi. Tapi ternyata gak semua dokter bisa bersabar untuk itu. Saat orang tuanya tidak punya cukup pengetahuan, dokter marah. Saat orang tuanya banyak bertanya meminta pendapat karena kewalahan dengan banyaknya informasi, dokter juga marah. Malah dikira kita ini sok tahu dan sok ngide ngelakuin ini itu. Padahal maksudnya bertanya supaya kita menyeleksi informasi yang kita dapat.

Terkadang apa yang kami tanyakan itu justru informasi atau saran yang diberikan sesama dokter anak sendiri. Ide-ide itu datang dari rekan sejawat andaaah. Bukan kami yang ngide begini begitu 😭 itulah kenapa kami bertanya supaya dapat perbandingan pendapat 😭.

Saat orang tua panik atau mudah terbawa perasaan (terutama para ibu) di judge lebay. Saat semua usaha sudah dicoba sebatas yang kami bisa tapi ternyata belum ada hasilnya, bukannya membantu menggali masalah dan memberikan solusi malah sibuk menyalahkan orang tua yang salah ini dan kurang itu. Suka bingung, apakah mereka gak merasakan posisi sebagai orang tua gitu ya? Kok minim empati sekali?

Semoga manteman semua menemukan dokter anak atau nakes yang cocok yaa untuk semua urusan seisi rumah tangga ini. Mulai dari dokter kandungan, bidan, dokter anak, dokter untuk penyakit-penyakit khas orang dewasa atau penyakit pada lansia.

Semoga kita dipertemukan dengan dokter-dokter yang ramah, lembut, jujur, kompeten, dan berempati sama pasiennya. Bersamaan dengan itu, kita sebagai pasien atau pendamping pasien wajib bantu dokter dengan memberikan informasi dengan cara yang efektif terkait keluhan yang dikonsultasikan. Supaya dokter juga bisa terang-benderang dan cepat menilai situasi. Selain dokter yang belajar berkomunikasi dengan pasien, pasien juga belajar berkomunikasi dengan dokter.

Kalau kamu ada cerita apa tentang dokter anak? Apa yang jadi dasar kamu merasa oke untuk stay atau memutuskan pindah dari dokter anak yang kamu datengin? Sehat-sehat semuanyaa 🙂

Gita Nadia Parenthood

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *