
Setelah menjalani masa kehamilan, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak pertama, aku membiarkan dulu mentalku pulih. Tidak ingin memikirkan kapan waktu yang tepat untuk memiliki anak kedua. Kenyataannya, sampai anak pertama usianya kurang lebih 2 tahun aku masih terus menangis kalau mengingat masa-masa hamil, melahirkan, dan menyusui. Berat. Aku biarkan anak pertama menyelesaikan masa ASI nya dulu. Kubiarkan juga diriku sembuh dulu.
Tak disangka, setelah anak pertama menginjak usia kurang lebih 2,5 tahun aku merasa jauh lebih baik. Di masa itu, aku sudah tidak menangis lagi kalau mengingat ke belakang. Aku menerima semua proses yang terjadi bersama anak pertama. Di saat yang sama, anak pertamaku mulai menunjukan minatnya dengan sosok adik yang lebih kecil. Seringkali ia menangis saat ada keluarga yang ingin pulang sehabis berkunjung ke rumah. Sedih karena kehilangan teman bermain. Bahkan beberapa kali sambil menangis dengan jelas ia mengatakan “adek jangan pulang, adek di sini aja” pada saudara sepupunya yang lebih kecil.
Tak bisa dipungkiri, anak pertamaku ini terlihat sangat butuh bermain bersama anak-anak seusianya atau sesama anak-anak lah pokoknya. Sedangkan di sekitar kami memang tidak ada anak seusianya. Seringnya dan paling amannya adalah ia bermain dengan sepupunya yang sesekali datang ke Bogor. Sisanya, yah memang ia akan di rumah saja bersama kami orang tuanya.
“Ya main aja sama orang tuanya, kenapa harus ada adik?
“Memangnya orang tuanya gak ajak anaknya main ya?”
Kalau pertanyaan itu muncul, inilah jawabanku. Aku paham bahwa setiap hal telah memiliki porsinya masing-masing dalam hidup kita. Ia tidak bisa diganti begitu saja dengan hal lain. Kalaupun diganti, tidak akan sama rasanya. Orang tua, saudara kandung, sepupu, om-tante, kakek-nenek, teman sebaya, dan sosok-sosok dalam hidup kita sudah memiliki porsinya masing-masing. Anak-anak senang bermain dengan sesama anak-anak. Bermain dan berinteraksi dengan orang tua tidak bisa menggantikan porsi bermain dan berinteraksi dengan sesama anak-anak. Yang ia butuhkan adalah kehadiran sesama anak-anak. Sebagaimana kita orang dewasa membutuhkan interaksi sesama orang dewasa. Membutuhkan obrolan dan diskusi sesama orang dewasa. Ngobrol dengan anak, tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
“Kenapa gak sekolah aja supaya ketemu teman-teman?“
Simpel aja, anaknya belum siap untuk sekolah. Tapi kami tetap coba untuk ikut kelas stimulasi bersama anak-anak seusianya. Alhamdulillah dengan 1-2 kali seminggu selama beberapa bulan, anak pertama disibukan dengan ikut kelas. Belajar untuk ikut instruksi guru. Belajar ikut kegiatan sesuai instruksi. Meski realitanya, mayoritas yang ikut adalah anak perempuan. Sehingga anakku tidak terlalu berminat untuk bermain bersama lawan jenis. Ditambah lagi dari total 8 orang anak yang ikut dengan usia kurang lebih 3 tahun, ternyata mereka belum bisa spontan atau nyaman untuk main bersama dengan anak lain. Ternyata anak-anak di usia tersebut masih lebih nyaman main secara berdampingan. Main sendiri-sendiri tapi bersebelahan. Atau bahkan lebih tertarik bermain langsung dengan guru, bukan dengan sesama teman-temannya. Sepengamatanku, mereka belum di tahap seperti anak TK yang bisa berbaur dan bermain bersama.
Hamil anak kedua pun tiba..
Alhamdulillahnya, kehamilan anak kedua benar-benar Allah beri kemudahan. Benar-benar minim keluhan, sehingga bahkan aku sendiri sesekali lupa kalau sedang hamil. Aktivitasku berjalan seperti biasa. Tetap mengurus rumah dan mengurus anak pertama. Sosialisasi kondisi kehamilan ini kami lakukan secara perlahan tapi terus-menerus pada anak pertama. Ia juga selalu diajak setiap ke dokter kandungan untuk “lihat adek di dalam perut”. Foto hasil USG pun menjadi bagian dari sosialisasi kehadiran adik.
Bersamaan dengan itu, kami juga belikan buku tentang “Menjadi Kakak”. Buku ini alhamdulillah sangat relate dengan anakku. Sekaligus sosialisasi terus-menerus bahwa nanti sebagaimana yang diceritakan di buku bahwa ia akan menunggu kami di rumah nenek jika sudah waktunya adek untuk lahir. Buku ini menjadi buku favoritnya bahkan sampai adik sudah lahir. Selain sosialisasi bahwa kami akan ke rumah sakit, bukunya juga bercerita bahwa sebagai kakak boleh bantu jaga adik, bantu ajak main, dan semuanya saling sayang. Membacakan buku ini berulang-ulang sungguh menjadi alat yang sangat membantu kami menyiapkan mentalnya sebagai kakak.
Adikpun lahir..
Rasa antusias dan penasaran sangat membuncah dari anak pertamaku. Ia sangat ingin terus bersama adik. Adik benar-benar warna baru dalam hidupnya. Yang tadinya sangat challenging sekali bagi kami menghadapi masa toddler anak pertama, tiba-tiba berubah dengan kehadiran adik. Dia seperti punya distraksi besar. Kelahiran anak kedua, benar-benar mengubah tegangnya menghadapi toddler menjadi cerita yang sangat ceria.
Saat anak kedua lahir, alhamdulillah kami masih bisa “mengungsi” ke rumah orang tuaku untuk mendapatkan bantuan mengurus newborn. Selama satu minggu pertama sejak pulang dari RS, adik sebagian besar diurus oleh mamaku. Aku fokus mengurus anak pertama dan istirahat karena ternyata selelah itu rasanya tubuh ini pasca operasi caesar. Benar-benar berbeda dengan melahirkan secara normal.
Semua aktivitas harian bersama anak pertama tetap aku lakukan. Memandikan, menyuapi, temani saat tidur, dan kegiatan lain. Sisi positifnya, anak pertama jadi merasa bahwa kehadiran adik bukanlah ancaman untuknya, karena uma masih melakukan hal-hal tersebut bersamanya. Memasuki minggu kedua, aku sudah mulai lebih sering bersama adik, tapi alhamdulillahnya masih bisa terus oper-operan. Jadi masa-masa awal kelahiran adik alhamdulillah kami usahakan untuk tidak membuat anak pertama langsung merasa tersisih.
Sejak sebelum adik lahir, anak pertama sudah dilatih untuk biasa bersama aba. Mulai dari bangun tidur, makan, mandi, main, tidur. Jadi saat adik lahir, dia mengerti kalau tidak bisa bersama uma, dia masih bisa bersama aba. Saat aba-nya libur, memang kami niatkan agar anak pertama main berdua keluar dengan aba-nya. Ajak main berdua ke playground di mall atau ke mini farm yang bisa beri makan kelinci, kambing, dll. Intinya, kakaknya di-distract dengan hal-hal menyenangkan. Berikan juga hadiah tanpa syarat atau alasan. Tunda sebentar hal yang menuntut sesuatu ke kakaknya. Misal di kondisi seperti ini, jangan paksakan naik kelas dalam toilet training atau mendadak dituntut bisa ini itu sendiri. Jadikan masa-masa awal kehadiran adik adalah masa-masa yang netral bahkan menyenangkan untuk semua.

Usaha sudah kami lakukan..
Kami tidak tahu secara pasti apa yang sebenar-benarnya anak pertama rasakan dengan kehadiran adik. Tapi yang tampak adalah, ia sangat senang bisa bermain sama adik. Apalagi kini saat adik sudah bisa berlari-lari, semakin senang bisa ajak adik bermain apa pun. Kemana-mana harus bawa adik. Agak cemas kalau adik mulai terlalu lama digendong orang lain. Anak pertama tidak melihat adik sebagai ancaman. Begitupun sebaliknya.
Semoga anak-anak ini bisa terus saling sayang. Semoga ketika suatu saat hadir adik kembali, kami tetap bisa memberikan kenyamanan untuk mereka berdua sebagai kakaknya. Aamiin.. Allahumma Baarik