Saat dokter menyatakan aku hamil anak pertama, ada kelegaan dan rasa syukur yang muncul. Namun setelah itu, lebih banyak diliputi rasa was-was. Ada begitu banyak cerita orang lain yang sudah ku dengar, tapi aku tidak tahu bagaimana ceritaku sendiri nantinya. Apa ya yang akan ku hadapi nantinya? Apa saja persiapanku untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi?

Masa kehamilan anak pertama adalah masanya tubuhku beradaptasi dengan semua hormon kehamilan. Mulai dari muntah setiap habis makan selama tiga bulan pertama, tubuh lemah, pusing/mabuk sepanjang hari, dan tidak bisa banyak bergerak (duduk, berdiri, berjalan) dalam waktu yang lama. Selama hamil, aku harus siap sedia kursi roda kalau beraktivitas yang lama di luar rumah.
Kondisi kehamilan yang perlu dijaga ini otomatis menyuruhku untuk lebih perlahan dalam menjalani apa pun. Aku dipaksa memilih, dan fokus pada prioritas. Tentu saja, prioritas utamanya adalah menjaga kehamilan itu sendiri serta menyiapkan diri untuk melahirkan dan mengurus bayi. Waktuku yang sebagian besar dihabiskan untuk beristirahat ku manfaatkan dengan belajar mengenai kehamilan, melahirkan, dan mengurus bayi baru lahir. Aku baca sebanyak mungkin artikel, buku, video edukasi di Youtube, dan sumber-sumber lainnya untuk belajar dari nol tentang apa yang akan aku alami di setiap tahapnya.
Masa kehamilan juga sangat mengubah banyak sudut pandangku. Tadinya aku sudah biasa memegang prinsip “selama pikiranku mengatakan bisa, maka tubuhku juga pasti bisa”. Aku sangat yakin bahwa tubuhku akan ikutan sehat/kuat kalau pikiranku meyakini aku sehat dan kuat. Tapi ternyataaaa tidak seperti ituuuu yang terjadi saat hamil haha. Aku disadarkan kenyataan bahwa ini bukan soal AKU bisa atau engga, ini soal BAYINYA bisa atau engga.
Dari dulu sebenarnya aku sudah terbiasa memantau batas kesanggupan kesehatan fisikku sendiri supaya tidak terlanjur menurun drastis. Ternyata kehamilan menyuruhku untuk LEBIH peka lagi menganalisa batas kesanggupan diri sendiri dan si bayi. Kadang kitanya bisa, tapi bayinya yang gak bisa. Kadang bayinya baik-baik aja tapi kitanya yang gak baik-baik saja. Maka dari itu, aku harus belajar tentang apa yang SEHARUSNYA aku lakukan di tiap tahapan kehamilan itu sendiri. Supaya terhindar dari kelalaian atau kesalahan-kesalahan yang tidak diperlukan. Akulah yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan kemampuan bayi ini.
Ternyata.. Berpikir dan bersikap sebagai seorang ibu sudah dimulai sejak awal kehamilan, bukan menunggu setelah bayi lahir.

Dari sinilah aku baru memahami apa yang orang bilang tentang “dengarkan tubuhmu”. Aku mulai berlatih untuk lebih peka dengan sinyal-sinyal tubuh yang muncul. Sebab yang paling bisa kita pantau dari kondisi bayi adalah sinyal-sinyal yang kita rasakan di tubuh kita. Tendangan bayi, gerakan bayi, cegukannya bayi, semuanya menjadi alat monitor kita sehari-hari. Mengenali dan memantau tanda-tanda bahaya seperti kontraksi yang muncul sebelum waktunya, intensitas kontraksi (kuat atau ringan), cairan yang keluar dari jalan lahir (apakah ada flek, darah, atau keputihan biasa).
Kehamilan membuatku memundurkan ego diri karena tahu bahwa ada nyawa lain yang bergantung dan terdampak langsung pada apa pun yang aku lakukan. Proses ini menuntutku menjadi orang yang penuh hati-hati, dan mendorongku untuk terus menganalisa situasi lalu mengambil keputusan agar kami berdua bisa aman dan nyaman. Untuk urusan pekerjaan rumah, aku selalu merasa bisa mengerjakannya tapi ternyata bayiku cuma kuat selama 1,5 jam. Sebab setelah itu hampir pasti perutku akan kontraksi dan mengeluarkan flek. Kalau sudah seperti itu aku langsung menghentikan apa pun yang aku lakukan lalu istirahat sampai besok harinya. Akunya bisa, tapi bayiku tidak bisa lama-lama.
Mengingat kondisi yang terbatas, berarti aku harus memilih apa yang bisa aku kerjakan (pekerjaan fisik). Pilih mana yang paling prioritas untuk selesai di hari itu. Tentunya jangan sampai terlanjur kontraksi terus-menerus setiap hari karena jelas akan membahayakan. Aku harus mengatur apa yang kulakukan, lalu berhenti sebelum bayiku kelelahan.
Kita itu dua nyawa yang berbeda, berbagi tubuh yang sama. Di satu waktu kita bisa saling mempengaruhi, di sisi lain kita bisa berbeda kondisi. Maka dari itu kita (para ibu) tidak boleh berasumsi bahwa bayi kita selalu aman. Sebab kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di dalam rahim kita. Contohnya, saat kehamilan anak pertama menginjak usia lima bulan, aku pernah di rawat di rumah sakit karena terkena DBD. Demam tinggi sampai 39 derajat, tubuhku ngilu-ngilu tiada henti, tidak bisa tidur karena seluruh tubuhku nyeri, trombositku sempat anjlok padahal tadinya sudah sempat naik. Suster sampai melarangku turun dari kasur supaya trombositku tidak semakin anjlok. Alhamdulillahnya bayiku terpantau aman.
Beda cerita saat kehamilan anak kedua. Sepanjang kehamilan alhamdulillah minim keluhan. Bayi ini seperti anteng sekali, tidak membuatku cemas ini dan itu. Tapi ternyata di hari-H melahirkan, semua skenario berbalik. Bayiku tidak kuat menghadapi kontraksi rahim. Setiap rahim berkontraksi, detak jantungnya drop ke angka yang mengkhawatirkan. Aku berusaha terus mengatur napas dan berpikir positif. Tapi dokter bilang bahwa ini sudah harus langsung SC saja karena sudah ada indikasi rahim sudah tidak sehat dan bayinya mulai terdampak. Lalu tidak berapa lama bayiku mulai jarang bergerak. Gong terbesarnya adalah, bahkan aku tidak mengalami pembukaan sama sekali!
Aku pasrah. Ini sudah tidak baik lagi, maka kami setuju untuk segera SC. Setelah bayi dikeluarkan dari perut, barulah ketahuan ternyata ketubanku sudah hijau (ketuban hijau tidak bisa dideteksi dari USG). Aku dan suamiku hening menahan napas mendengar hal itu. Aku mendengar suara alat suction yang cukup lama, seperti bolak-balik menyedot segala arah untuk memastikan tidak ada cairan ketuban yang terhirup atau tertelan bayi. Setelah menjalani semua prosedur tes lab dan screening bayi baru lahir, alhamdulillah hasilnya menyatakan bayiku sehat dan tidak ada cairan ketuban yang masuk dalam tubuhnya. Kami sangat lega dan bersyukur :’) Ini jadi salah satu contoh bahwa akunya baik-baik saja, tapi bayiku tidak baik-baik saja. Aku datang dengan keadaan sehat. Suhu tubuh aman, tensi aman, dan segala tes lab menuju operasi menyatakan aku alhamdulillah sehat. Tapi bayiku yang jelas tidak baik-baik saja.
Di momen-momen genting seperti itu, sejujurnya hatiku terbelah antara keinginanku untuk melahirkan normal dan saran dokter untuk segera SC. Ada perasaan ingin mengabaikan perkataan dokter karena aku merasa aku baik-baik saja. Tapi aku dan suami sepakat kita harus bersandar pada data dan saran yang ahli di bidangnya. Dua dokter kandungan (berbeda jam terbang dan berbeda rumah sakit) mengatakan aku harus SC. Begitu pun data di depan mataku dengan jelas menunjukkan bayiku tidak fit. Maka dimensi perasaan adalah hal yang harus kita tepis, lalu fokus pada tindakan untuk kondisi genting. Sampai akhirnya mengetahui perihal ketuban hijau, saat itu juga aku langsung bersyukur kepada Allah bahwa aku diberikan jalan SC tepat pada waktunya.
Aku belajar banyak..
Kondisi-kondisi yang hanya aku rasakan langsung saat kehamilan melatihku untuk mendengar anakku bahkan sejak dari dalam perut. Melatih kita untuk membaca situasi, mengukur kemampuan, menetapkan prioritas, bersabar karena kita sedang membawa nyawa yang rapuh dalam tubuh. Kita belajar bahwa dengan melindungi diri, berarti kita juga melindungi bayi yang ada dalam tubuh kita. Jauhi apa yang berbahaya untuknya meski kita suka. Lakukan apa yang terbaik untuknya meski biasanya kita tidak suka/tidak tertarik/tidak selera/tidak betah. Apa pun itu bukan lagi soal diri kita maunya apa, bisa atau engganya. Berubah menjadi bayi ini mau nya apa dan bisa atau engga.
Aku banyak terkejut dan takjub sepanjang prosesnya. Padahal kehamilan dan melahirkan ini baru awal dari semua pengalaman motherhood. Ternyata perjalanan seperti ini jauuuhh lebih luas dan dalam dari hanya sekedar formalitas tahapan hidup setelah menikah. Selamat belajar dan selamat berproses untuk kita semua 🙂