Zaman dulu, menjadi ibu rumah tangga adalah jalan hidup semua perempuan. Sesuatu yang sudah hampir pasti terjadi pada semua perempuan. Lalu zaman berubah. Perempuan sendiri kemudian memandang bahwa menjadi ibu rumah tangga hanya bagi mereka yang terbelenggu, tak punya pilihan, tidak berdaya, dan tertinggal. Menjadi ibu rumah tangga seperti sebuah kekalahan bagi perempuan. Begitu banyak kalimat-kalimat yang muncul agar perempuan JANGAN (cuma) menjadi ibu rumah tangga. Bahkan kalimat-kalimat tersebut diucapkan oleh sesama perempuan sendiri. Entah ibunya, kakaknya, tantenya, atau neneknya. Saat seseorang “hanya” menjadi ibu rumah tangga, tugas dan peran itu dianggap tidak cukup. Menurut mereka harus ada profesi lain atau pekerjaan lain yang juga kita kerjakan selain “hanya” menjadi ibu rumah tangga.
Lalu kini muncul lagi masa dimana menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan bahkan dianggap sebuah kemewahan (privilege). Saat seorang perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga, pasti orang-orang akan bertanya apa alasannya. Kalau ekonomi rumah tangganya agak sulit, muncul pertanyaan “gak mau bantu-bantu nambah penghasilan?”. Kalau ekonomi rumah tangganya tercukupi, muncul pertanyaan “yakin gak mau sambil upgrade diri?” atau “sayang gak sama pendidikan atau titelnya?” atau “kok bisa (merasa cukup) cuma jadi ibu rumah tangga saja?” dan satu lagi, “oh ya kamu sih enak gak perlu kerja.. bla bla bla”. Sibuk sekali pokoknya orang-orang mengkhawatirkan hidup orang lain.
Bagaimana pandangan tentang menjadi ibu rumah tangga sesungguhnya hanya berputar-putar di antara sesama perempuan itu sendiri. Diperumit oleh sesama perempuan sendiri. Apa alasanmu menjadi ibu rumah tangga? Memangnya perlu alasan yang seperti apa? Kalau kita tanyakan kepada laki-laki, apa alasanmu bekerja? Apa alasanmu menjadi seorang kepala keluarga? Memangnya butuh alasan yang seperti apa? Kenapa kita harus menjelaskan? Kenapa kita seperti harus punya dasar pembelaan? Di saat laki-laki meyakini bahwa bekerja adalah kehormatan atau harga diri mereka, mengapa ya kita tidak bisa dengan ringan menjawab bahwa menjadi ibu rumah tangga juga sebuah kehormatan atau harga diri kita?
Dulu pun aku orang yang sangat mencintai pekerjaanku. Menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah jalan yang tidak aku tolak, tapi tidak juga kujadikan tujuan utama. Netral saja karena aku tidak mau sibuk memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Tidak mau mendebat ini dan itu karena saat itu aku tidak dalam posisi harus memilih. Sebelum hamil, aku sudah resign dari pekerjaan. Saat hamil anak pertama, ternyata hamilnya harus dijaga dengan hati-hati. Jadi, bekerja adalah kemustahilan karena memang tidak sanggup aku lakukan baik secara fisik maupun mental. Yasudah bye-bye urusan pekerjaan. Sesederhana itu. Shifting ini terjadi karena ada prioritas di atas dunia bekerja itu sendiri.
Kalau mau dijabarkan, memang ada beberapa hal yang menjadi faktor pendorongku memutuskan full menjadi ibu rumah tangga. Paling pertama adalah, aku sadar betul bahwa kebutuhan anak akan orang tuanya sangatlah besar. Tanggung jawab kita pada anak apalagi di zaman sekarang menjadi semakin besar. Dunia ini membuatku takut tentang apa yang anak-anak akan hadapi. Tapi di sisi lain, aku tahu upaya apa yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan jalan yang “aman” melaluinya. Aman bukan berarti mudah ya. Bagiku, itu semua butuh pengawalan penuh. Di saat kita sudah mengawal secara penuh saja belum tentu semua hal terjadi sesuai harapan atau rencana yang kami buat, bagaimana ceritanya kalau tanggung jawab ini aku lakukan dengan setengah-setengah atau bahkan sisa-sisa tenaga, waktu, pikiran, dan perasaan?
Kedua, saat kami sama-sama full bekerja sangat kerasa kalau lama-lama rumah ini bukan lagi seperti rumah tangga. Tapi seperti ngontrak bareng. Waktu kami habis untuk pekerjaan. Sisa tenaga habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan istirahat. Waktu untuk diri sendiri saja sangat minim, apalagi waktu untuk berdua. Sudah terlalu lelah untuk hal-hal di luar diri sendiri dan bahkan kepentingan rumah tangga sendiri. Pada satu titik, aku sadar bahwa ini tidak boleh terus berlanjut. Rumah tangga harus dijalankan sebagaimana mestinya. Harus ada yang mengelolanya, menanam, memupuk, dan merawat. Toh kita sendiri juga yang akan menikmati bunga dan buahnya. Peran-peran yang tidak kelihatan wujudnya namun harus dilakukan.
Yang orang lihat tentang rumah tangga ya sifatnya serba permukaan. Semua tugas membersihkan rumah, merawat isi rumah, berbelanja, antar-jemput anak, menyiapkan ini itu untuk seisi rumah. Hal-hal yang memang bisa digantikan perannya oleh berbagai ART. Tapi inti nyawanya ada di suami dan istri itu sendiri. Proses berpikir, keputusan-keputusan bersama, pengawalan dari hari ke hari keputusan-keputusan yang sudah kita buat, dan berbagai peran-peran yang tidak bisa digantikan oleh pihak lain.
ART hanyalah satu hal dalam urusan menyelesaikan pekerjaan rumah. Mau kita tambah sebanyak apa pun ART di dalam rumah, kalau nyawanya tidak ada ya rumah itu akan dingin dan lama-lama hanya tempat numpang makan, mandi, dan tidur. Ya itu dia si ngontrak bareng. Rumah bersih, semua tersedia, tapi orangnya sibuk secara fisik dan mental dengan urusan masing-masing. Atas nama kesibukan, tanggung jawab satu sama lain kita maklumi jika terlewat. Lama-lama terbiasa dengan yang kurang lalu ujungnya pasti terabaikan.
Kesimpulanku, tentu sebatas apa yang aku jalani, rumah tangga hanya hidup ketika ada pikiran dan jiwa manusia yang menjadi penggerak di dalamnya. Harus ada otak dan jantungnya. Yaitu suami dan istri yang keduanya sama-sama hadir secara pikiran dan jiwanya untuk rumah tangga ini. Sama-sama bergerak menjalankan tugas dan kewajiban sesuai porsinya masing-masing. Dengan itu, rumah tangga bisa hidup dengan sehat.
Kalau orang lain percaya bahwa mereka bisa mencapai itu semua sambil keduanya sama-sama bekerja, ya silahkan saja. Kalau memang itu keyakinan mereka dengan semua konsekuensi yang mereka siap hadapi. Aku pribadi secara sadar memahami keterbatasanku baik fisik, mental, dan emosional. Aku sadar betul aku tidak sanggup mejalankan segalanya sekaligus. Kesadaran karena sudah aku alami, bukan asumsi belaka. Menimbang semua keterbatasan diriku, aku harus memilih kemana semua waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan ini aku arahkan. Tujuan mana yang mau kucapai? Tujuan pribadiku atau tujuan bersama?
Bagiku, titel ibu rumah tangga adalah konsekuensi dari tujuan yang ingin kami raih. Menjadi ibu rumah tangga adalah titel dari komitmen yang aku pribadi punya dan jalankan untuk pernikahan dan keluarga kami. Sesuatu yang harus dijalankan sepaket dengan semua yang kami inginkan di depan sana.
Konsekuensi dari pilihan menjadi ibu rumah tangga adalah harus menempuh pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tidak ada hentinya. Ritme yang melambat, pekerjaan yang monoton, terkadang buntu dan membuntukan pikiran. Tugas yang membuat kita memikirkan banyak hal di saat yang bersamaan. Memikirkan dan mengerjakan perintilan-perintilan yang dulu saat masih single adalah hal yang kuhindari. Apakah ini semua mudah? Tentu saja tidak~ Bagiku perpindahan ini sangatlah ekstrim. Aku belajar setiap harinya. Menyesuaikan diri terus-menerus setiap apa pun fase yang sedang dihadapi. Kok tahan? Yaa ditahan-tahanin. Sebagaimana para suami yang mencari nafkah, juga tidak ada berhentinya kecuali meninggal. Kok tahan? Ya harus ditahan-tahanin. Di kenyataan hidup orang dewasa, ini semua disebut komitmen pada tanggung jawab.
Jadi.. apakah masih perlu alasan khusus untuk menjadi ibu rumah tangga?