Sudah baca macam-macam artikel, sudah ikut kelas MPASI, sudah beli alat tempur dan bahan makanan untuk si bayi MPASI. Pas eksekusi.. Jeng.. Jeng.. Ternyata gak semudah yang kita kira. Satu demi satu permasalahan muncul. Anak tidak mau makan, berat badan kurang, perkara bolak-balik sakit, tumbuh gigi, transisi naik tekstur makanan, dan juga perkara alergi makanan tertentu. Selalu ada saja cerita setiap harinya.

Saat anak pertama mau MPASI, aku ikut kelas materi khusus mengenai MPASI. Bagiku ikut kelas sangat wajib karena aku yang awam soal masak-memasak sangat takut kalau salah mengolah makanan untuk bayi. Di kelas MPASI aku belajar semuanya. Mulai dari prinsip MPASI, aturan makan, mengenal bahan makanan, cara memasak untuk MPASI, porsi makan bayi, cara membuat tekstur makanan bayi, keamanan menyimpan makanan bayi, membaca tabel gizi produk, dan sebagainya. Cukup ikut satu kali untuk investasi masa depan.

Kemampuan masak yang sangat minim bikin aku bingung mau mengenalkan makanan apa ke anak. Akhirnya akan memasak yang itu-itu lagi. Selain permasalahan tumbuh gigi, bolak-balik sakit, dan juga mungkin bosan. Kebosanan menu yang bisa dipahami. Tapi saat itu aku juga tidak bisa memecahkan kebosanan menu makanan anak pertama. Di masa itu aku sudah pasrah. Saat mencapai usia 1 tahun, anak pertama sudah ikut makanan keluarga. Aku sudah tidak ingin memikirkan lagi stres-nya menyiapkan makanan, diomelin dokter anak karena berat badan anak yang kurang, bersamaan dengan anak yang terus-terusan tidak ingin makan. Aku mengalihkan fokusku ke meningkatkan kemampuan memasak saja. Bagaimana caranya supaya kegiatan memasak bukan lagi menjadi sebuah beban.

Waktu berjalan. Aku tetap belajar memasak, dan sepertinya aku sudah jauh lebih mengerti banyak hal. Sudah mengerti pola dalam memasak. Sudah tau harus mencari ide kemana. Sudah mengerti karakteristik bahan makanan untuk makanan utama, untuk cemilan, beserta bahan makanan pengganti. Sudah mengerti bahan apa yang cocok disatukan apa yang tidak cocok disatukan. Tibalah saat lahir anak kedua. Aku mencoba untuk mengevaluasi pengalaman MPASI anak pertama. Sejujurnya aku masih tetap tidak menemukan solusi untuk permasalahan makan anak pertamaku. Sehingga saat di anak ke dua, aku memutuskan untuk mencoba semua cara berbeda dalam proses MPASI-nya. Murni menempuh jalan yang berbeda hanya untuk melihat hasilnya.

Perbedaan Cara MPASI Anak Pertama dan Kedua

Mulai dari cara duduk. Dulu anak pertama langsung aku posisikan di kursi makan dan berhadapan denganku. Pemandangan makannya adalah aku. Sedangkan saat anak kedua, aku dudukan di pangkuanku dan hadapkan ke kakaknya. Pemandangan makan anak kedua adalah kakaknya atau apa yang sedang kakaknya tonton. Aku menyuapi anak pertama secara berhadapan. Aku harus menjadi hiburannya, padahal kan mukaku tidak semenghibur itu. Sedangkan anak kedua, sudah terhibur dengan sendirinya dengan melihat kakaknya. Aku menyuapi anak kedua dari samping atau belakang tubuhnya. Jadi anak kedua tidak melihat mukaku kalau sedang disuapi. Tetap aku kenalkan dengan baby chair. Apalagi kalau makan di luar rumah. Pasti menggunakan baby chair. Seiring berjalannya waktu, saat menyuapi anak kedua, aku mengubah banyak posisi. Kadang juga duduk dan menyuapi berhadapan dan tidak selalu di kursi. Kadang duduk berhadapan di atas play mat nya.

Dari segi lama waktu makan. Kalau secara teori ya 30 menit, tapi aku jelas lebih dari itu. Aku berhenti kalau anaknya sudah bilang berhenti. Terkadang sudah masuk waktu makan, eh dianya malah ngantuk. Mau diposisikan kayak apapun, kalau ngantuk ya gak akan mau makan. Yasudah karena masih menyusui, disusui dulu saja. Setelah dia bangun baru kita ajak makan. Apakah jeda makan setiap 2 jam? Kalau di pengalamanku ya tergantung berapa makanan yang masuk ke anak. Kalau cuma sedikit, sebenarnya selang 1-1,5 jam juga mungkin dia sudah lapar lagi. Kalau makannya banyak, selang 2-3 jam ideal sekali baru makan lagi.

Bagaimana dengan distraksi saat makan? Tentu idealnya adalah tidak ada distraksi saat makan. Tapi saat prakteknya, kondisi tidak selalu ideal. Dalam satu hari saja kita tidak bisa memastikan akan berjalan dengan ideal dari pagi sampai malam. Ada masanya anak memang bisa fokus dengan makanannya. Biasanya saat anak sehat, dalam keadaan lapar, terlebih lagi kalau dia tertarik dengan makanan di piringnya. Tapi ada juga masanya anak butuh distraksi hanya supaya dia mau makan. Demi berat badan yang tidak terus merosot. Misal saat anak sakit, tumbuh gigi, bepergian jauh, sedang bosan, mengantuk atau hal-hal lainnya. Saat selera makan berkurang, kita jadi melakukan berbagai cara hanya demi dia mau makan beberapa suap. Jadi, harus diterima bahwa tidak ada hari yang selalu berjalan ideal. Sehingga kita lakukan saja apa yang bisa kita lakukan, sisanya maafkan diri karena masih kurang dalam menerapkan seperti “yang seharusnya”. Ketidakidealan itu bisa saja berjalan dalam waktu yang lama, sampai situasi membaik lalu anak kembali bisa menerapkan aturan makan yang sesuai.

Lalu soal menu makanan. Menu makanan anak pertama sudah tidak bisa aku ingat. Banyaknya cocoklogi karena saat itu aku gak punya konsep dalam memasak. Ya pantas saja dia tidak suka, toh aku aja gak makan si cocoklogi itu. Saat anak kedua, aku benar-benar bertekad mengenalkan makanan Indonesia dengan semua bumbu dan rempah Indonesia. Mulai dari makanan berat seperti sop, soto, opor, nasi uduk, nasi liwet, nasi kuning, dan sebagainya. Sampai ke jajan pasar untuk cemilan seperti bubur sumsum, kolak ubi, nagasari, bolu kukus, perkedel, dan sebagainya. Di antara itu juga diselingi makanan barat seperti mashed potato, butter rice, pan cake, spaghetti bolognaise, aglio olio, creamy pasta, dan sebagainya.

Intinya, baik makanan Indonesia atau pun luar, semua adalah makanan yang biasa kita makan. Meski niat awalnya adalah mengenalkan makanan Indonesia to the max, ternyata saat prakteknya di awal MPASI anak malah menolak makanan dengan bumbu ala Indonesia. Sepertinya rasa makanannya relatif kuat dan anak kedua ku menolaknya di masa-masa awal. Akhirnya untuk awalan aku pilih makanan ala barat terlebih dahulu untuk dikenalkan karena rasa yang simpel tapi tetap enak. Lama-lama baru kenalkan bumbu-bumbu makanan Indonesia secara perlahan. Alhamdulillah anaknya menerima keduanya.

Saat anak pertama, aku sepertinya terlalu awal mengenalkan buah dan dalam jumlah cukup banyak. Meski aku saat itu tahu bahwa anak tidak perlu banyak buah, tapi melihat antusiasnya terhadap buah membuatku malah terus memberikannya buah. Aku rasa hal itu sedikit banyak membuat anak pertamaku malah lebih suka buah daripada makanan utama. Jadi menyesal rasanya. Akhirnya saat anak kedua, aku tunda dulu pengenalan buah. Satu-satunya buah yang aku kenalkan cuma pisang, itu pun diolah jadi cemilan.

Saat anak pertama MPASI dulu, aku belum sanggup untuk membuat kaldu sendiri. Saat itu rasanya terlalu overwhelmed dengan banyak situasi, jadi aku pun tidak menjadikan kaldu sebagai pilihan yang aku ingin buat. Tapi saat anak kedua, aku coba buat seperti kaldu ceker ayam dan kaldu sumsum sapi. Saat anak pertama juga aku gak membuat minyak tambahan. Saat anak kedua, aku usahakan membuat minyak dari kulit ayam dengan harapan mendapatkan lemak yang lebih banyak. Saat anak pertama banyak mengenalkan keju, tapi saat anak kedua aku pakai butter untuk campuran cemilan. Jarang sekali memberikan keju. Saat anak pertama, aku cukup cepat mengenalkan gula garam (dalam porsi sangat sedikit tentunya). Sedangkan saat anak kedua, aku baru memasak menggunakan gula dan garam saat usianya 10 bulan. Sebelum itu aku mengandalkan rasa gurih dan manis dari bahan makanan alami. Semuanya aku upayakan saja sebisaku.

Hasilnya?

Secara kasat mata, anak kedua ku memang lebih tertarik dengan makanan. Keluarga juga bisa melihat bahwa anak ke dua lebih suka makan. Sejujurnya aku tidak tahu apakah semua usahaku itu memang menjadi faktor terbesar yang berhasil membuat anak kedua ku lebih mau makan. Sebab aku merasa ada beberapa faktor lain juga yang cukup medorong anak kedua ini lebih mau makan. Pertama, dari sananya sepertinya anak ini memang lebih punya motivasi diri untuk makan. Bahkan sejak hamil kedua ini, rasa laparku lebih waw daripada saat hamil anak pertama. Saat anak kedua menolak makanan, dia jauh lebih kekeuh menutup mulut sehingga aku “dipaksa” mengevaluasi berbagai hal mencari sumber ketidaksukaannya. Apakah rasanya terlalu kuat, apakah teksturnya tidak sesuai, apakah cara menyuapinya salah, apakah waktu makannya yang gak tepat, dan sebagainya. Saat sudah aku coba perbaiki dan ternyata sesuai, anak kedua memperlihatkan respon penerimaannya. Aku pun jadi mencatat dan belajar apa yang dia suka dan dia tidak suka.

Saat menghadapi MPASI anak kedua, aku sudah lebih siap untuk memikirkan dan mengevaluasi itu semua. Sehingga meskipun tetap pusing setiap harinya, setidaknya aku mengetahui apa saja yang harus aku evaluasi dan aku tahu bagaimana mengubahnya. Aku gak kebayang kalau kasus ini justru aku temui saat anak pertama. Waduh gak sanggup kayaknya. Di sisi lain kehadiran anak pertama membuat anak kedua ini lebih semangat meniru. Saat melihat kakaknya makan, dia ingin makan. Dia belajar banyak dari kakaknya. Sehingga anak ini senang dengan kegiatan makan, karena dia tidak sendiri. Ada teman makan bersama. Melihat kakaknya menggenggam makanan, dia ingin genggam makanan. Ingin mencoba ambil dan makan dengan tangannya sendiri. Bahkan menginginkan makanan yang sama yang sedang dimakan sang kakak. Meniru sesama anak sepertinya punya sensasi berbeda dibandingkan ketika meniru orang tua. Jadi bagiku, anak pertamaku juga menjadi faktor yang membuat anak kedua ini mampu melewati masa MPASI nya dengan lebih menyenangkan.

Kesimpulanku adalah..

Setelah melalui proses MPASI dua anak dengan cara yang berbeda, aku merasa semua teori mengenai MPASI memang sangatlah membantuku yang benar-benar nol. Aku jadi paham arah tujuannya beserta do and don’ts nya. Saat anak pertama semuanya menjadi terasa sulit karena mempraktekan sesuatu sesuai teori faktanya tidak selalu langsung berhasil atau sesuai yang kita inginkan, baik proses maupun hasilnya. Kita juga belum punya ruang yang besar untuk bisa lebih fleksibel. Kita juga gak tau harus mengevaluasi apa karena gak ada pengalaman sama sekali dalam hal mengurus makanan bayi. Kecemasan demi kecemasan mampir tidak berkesudahan.

Saat anak kedua, aku berusaha kembali ke prinsip MPASI. Bahwa orang tua menyediakan makanan lalu anak akan merespon. Saat dia menolak, aku harus mencari tau sumbernya. Setelah diperbaiki, anak memberikan lagi respon penerimaannya. Saat anak bilang berhenti pun, aku pun berhenti. Proses komunikasi ini dibangun setiap hari sejak hari pertama MPASI. Aku akui rasanya berat sekali. Terutama saat harus muter otak dan memasak ke sekian kalinya di hari yang sama. Apakah semua anak seperti ini? Aku tidak tahu. Bisa saja mungkin tipe anak keduaku seperti ini. Apakah anak selanjutnya akan seperti ini? Aku harap begitu, tapi tentu aku harus terus bersiap jika ternyata akan muncul tipe anak yang berbeda lagi.

Belum lagi cerita-cerita para ibu yang malah sibuk menilai benar-salah satu sama lain. Padahal menurutku tidak perlu saling memperdebatkan atau mempertentangkan cara memasak, resep masakan, dan cara menyuapi ke anak. Selama semua itu masih dalam koridor ilmu yang sudah dipelajari, maka tidak usah saling menyalahkan. Anakmu ya medan tempurmu, atur sendiri strategimu. Ingat dalam satu hari yang sama pun kita tidak bisa memastikan semua akan berjalan ideal dari pagi sampai malam. Dulu aku terus-terusan merasa bersalah karena melakukan yang tidak seharusnya/tidak ideal sesuai teori. Tapi setelah itu aku meyakini bahwa yang penting itu bukan perkara selalu sesuai atau benar secara teori, tapi pahami dan gunakanlah berbagai macam teori, pengalaman diri, dan orang lain untuk menemukan mana yang paling sesuai untuk kita dan anak menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Caranya ya hanya dengan dicoba satu per satu sambil terus dievaluasi.

Ada orang yang mempertentangkan bubur bayi diblender dengan bubur ulek-saring untuk bayi usia 6 bulan. Ada yang bilang bayi akan kesulitan naik tekstur kalau bubur diblender untuk anak 6-8 bulan. Menurutku, kembalikan saja ke situasi anak dan orang tua masing-masing. Kalau memang anaknya langsung bisa makan ulek saring ya silahkan saja. Tapi kalau anaknya belum terima, ya diblender lalu saring saja. Sambil secara perlahan dinaikan tingkat kekentalan makanan dan teksturnya. Sudah pasti konsekuensinya adalah tahapan naik tekstur menjadi lebih panjang dan kita harus lebih sabar.

Tidak semua kata orang atau pengalaman orang akan kita alami juga. Respon anak berbeda-beda. Ada begitu banyak faktor yang berperan yang menghasilkan tingkah laku tertentu pada anak. Kita gak bisa serta merta menjadikan satu dua hal sebagai sebab saklek sesuatu terjadi. Apakah anaknya sulit naik tekstur benar-benar HANYA karena makanan diblender? Atau jangan-jangan tahapan naik teksturnya tidak dilakukan dengan perlahan dan melihat respon anak? Sangat banyak hal yang bisa dievaluasi terlebih dahulu sampai bisa menyimpulkan alasan anaknya yang sulit naik tekstur.

Semangat menempuh masa MPASI ya bu. Lelah sekali memang. Keluarkan usaha terbaik ibu. Kalau ada yang masih bisa coba dilakukan baiknya lakukan saja. Siapa tahu memang cara berbeda menghasilkan sesuatu yang berbeda. Itu pun kalau ibu rasanya masih punya tenaga, waktu, pikiran, dan perasaan untuk mencoba cara baru. Kalau rasanya sudah nyerah, yasudah bu. Endapkan dulu sampai nanti kita lebih tenang. Setelah lebih tenang, biasanya kita lebih punya ruang untuk fleksibel menilai situasi. Tetap tambah pengetahuan baru dari sumber yang tepat, siapa tau informasi kecil bisa membantu mengubah hal besar dalam proses MPASI anak ibu. Semoga anak ke dua dan seterusnya bisa jadi pengalaman yang sangat berbeda ya bu.. Semoga proses MPASInya berjalan lancar dan mencapai tujuannya. Aamiin.. 🙂

Gita Nadia Motherhood

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *