Aku yang biasa bekerja, suatu hari memutuskan untuk menjadi seorang Ibu Rumah Tangga penuh waktu. Seringkali ku dengar perpindahan dunia ini terasa berat, tapi aku tak tahu pasti apa yang orang lain sebut berat? Sebab jarang sekali orang menggambarkan kondisinya secara jelas. Memangnya ada apa?

Hal pertama yang aku rasakan setelah resign tentunya kebebasan yang menyenangkan. Tidak perlu lagi buru-buru mengejar berbagai jadwal pagi hari, berpacu dengan waktu, dan desak-desakan di kendaraan umum. Saat malam harinya tidak perlu begadang menyelesaikan berbagai deadline, handphone sepi tanpa notifikasi ini itu. Bagiku semuanya benar-benar sempurna untuk istirahat (karena saat itu aku belum memiliki anak).

Dunia bekerja justru sudah menjadi zona nyamanku. Aku sudah terbiasa dan sudah punya rentetan rencana akan kemana. Justru dunia rumah tangga dan seisinya lah yang menjadi dunia baru bagiku. Dunia yang aku tidak tahu harus berekspektasi seperti apa. Bagaimana caranya menjalankan peran menjadi istri, ibu, dan ibu rumah tangga yang mengurus segalanya. Hal yang secara teori sudah aku pahami, tapi pada prakteknya tetap saja trial-error sampai terbentuk pola yang sreg di hati kami berdua. Ternyata tidak semudah itu ya. Setelah dijalani, aku tersadar betapa berbedanya dua dunia ini yang tentu akhirnya menuntutku untuk berubah menyesuaikan keadaan.

Dua Dunia yang Berbeda

Buat kamu yang biasa bekerja, kamu sadar gak kalau dunia bekerja dan dunia rumah tangga itu memang berbeda? Awalnya ku kira, ketika kita terbiasa dengan taktisnya dunia profesional bukankah harusnya “bekerja” dalam rumah tangga menjadi lebih mudah? Memang, ada miripnya tapi ternyata kita harus memiliki dua versi diri untuk hidup di dua dunia ini. Aku harus meraba seperti apa realita dunia rumah tangga, terutama rumah tanggaku sendiri harus aku bentuk dan jalankan seperti apa. Mulai dari ritme hidup, cara berelasi, atmosfer yang kita bangun, dan sebagainya.

    1. Perbedaan Ritme
    pexels-photo-169976-169976.jpg

    Dunia profesional adalah tempat yang menuntut kecepatan, akurasi, sikap taktis. Kita selalu menemukan hal baru, tak terduga, serta dituntut cepat setiap harinya. Dunia yang begitu dinamis. Apa yang kita kerjakan hari ini berbeda dari hari kemarin, dan yang akan kita kerjakan besok. Siapa orang yang kita temui hari ini berbeda dengan orang-orang di hari kemarin dan yang akan kita temui besok. Obrolan kita bisa terus bergulir setiap harinya dengan berbagai pembahasan baru. Setiap perubahan harus direspon secara taktis, perbaikan atau penyesuaian harus dilakukan dengan cepat, dan hasil dituntut akurat.

    Sedangkan dunia rumah tangga memiliki ritme yang perlahan dan monoton. Ketika belum ada anak, ritme perlahan adalah ritme yang kita ciptakan sendiri. Tapi setelah kehadiran anak, ritme hidup otomatis melambat karena kita menyelaraskan semua kegiatan kita dengan anak. Contoh kecil kalau kita ingin jalan-jalan saat masih berdua dengan pasangan, aku yakin cukup sepuluh menit untuk siap-siap lalu bisa segera berangkat. Berbeda ketika akan bepergian dengan anak. Waktu persiapan bisa sampai satu jam. Sehingga semua bersifat terencana supaya waktu bisa kita gunakan dengan efektif.

    Kalau kita sudah terbiasa dengan ritme serba cepat, tanpa sadar kita menjadi tidak sabar dengan semua ritme yang melambat ini. Kita jadi sering menuntut segalanya cepat, tepat, minim kesalahan, dll. Sedangkan dalam rumah tangga yang mana hidup bersama pasangan, anak, dan mungkin juga orang tua, ada begitu banyak kekurangan yang kita harus bersabar atasnya. Kalau kita gak sadar adanya perbedaan ini, suasana rumah pasti berantakan.

    Kehidupan rumah tangga juga sering membuat jenuh karena aktivitas yang monoton. Setiap hari adalah hari-hari yang sama seperti hari kemarin dan juga besok. Pekerjaan rumah tangga yang sama, tempat yang sama, dengan orang-orang yang sama setiap harinya. Hidup sekaligus pekerjaan kita ada di satu tempat yang sama. Jarang sekali mendapatkan pertukaran suasana. Kalaupun tempatnya berpindah (sedang liburan ke suatu tempat), pekerjaannya tetap sama.

    Buat kita yang biasa dengan pekerjaan yang variatif, berpindah menjadi pekerjaan yang monoton itu jelas sangat menantang. Belum lagi dengan minimnya bertemu orang lain dan memiliki obrolan lain selain urusan seisi rumah. Jenuh dan kebuntuan berulang jadi hal yang tak terhindarkan. Kita sangat butuh menemukan solusi yang sesuai diri masing-masing untuk tetap waras meski menghadapi pekerjaan yang monoton. Pekerjaan yang monoton membuat kita merasa tidak melakukan apa-apa karena semua seperti sesuatu yang biasa saja dan sudah seharusnya kita kerjakan. Kita sulit mengapresiasi diri kita sendiri untuk hal-hal yang sudah menjadi rutinitas.

    2. Perbedaan Cara Membangun Hubungan

    pexels-photo-236164-236164.jpg

    Membangun hubungan dengan pasangan dan anak-anak merupakan pekerjaan tersendiri. Hubungan ini jelas berbeda dengan hubungan kita bersama orang-orang di ranah profesional. Pasangan adalah pasangan, ia lebih dari sekedar rekan satu tim. Sebab kita punya tanggung jawab langsung pada diri pasangan kita. Kita berbagi tanggung jawab dalam keberlangsungan rumah tangga, kita pun punya tanggung jawab khusus untuk satu sama lain. Tanggung jawab menjaga, mengisi kebutuhan diri satu sama lain, mangasihi, mendidik, dan menjadi pakaian untuk satu sama lain. Semua dilakukan dengan dasar kepedulian dan kasih sayang. Sedangkan hubungan di pekerjaan tidak memaksa kita harus cocok dan seirama dengan rekan kerja. Umumnya kita memelihara hubungan hanya karena harus menyelesaikan pekerjaan bersama-sama. Kita hanya bertanggung jawab pada pekerjaan bersama, bukan orangnya.

    Jika di dunia profesional kita bisa berkonflik secara keras dengan orang lain, tapi berkonflik di rumah tangga harus diselesaikan dengan hati-hati, kelembutan, dan kasih sayang. Jika di dunia profesional kita bisa meminta progres orang dengan cepat dan terukur, tapi progres di rumah tangga ada yang terukur ada yang tidak. Ada progres yang bisa cepat ada yang butuh waktu lebih lama. Jika dunia profesional sering menuntut untuk sempurna tanpa cela, maka di rumah tangga mengedepankan penerimaan pada kondisi dan keterbatasan.

    Semua yang terjadi dalam rumah tangga itu sifatnya logis, tapi dijalankan dengan perasaan. Ketika bicara dengan pasangan harus dengan lembut. Bicara ke anak pun dengan lembut dan sesuai kapasitas anak. Lebih banyak nasihat, himbauan, ajakan, mencontohkan, mengedepankan kesabaran, penerimaan. Tentu ketegasan tetap ada porsinya, namun tegas yang berlandaskan rasa kasih sayang, ada pula waktunya untuk keras namun tentu hanya di saat tertentu. Sedangkan di tempat kerja, sudah menjadi makanan sehari-hari menerima teguran keras, amarah, penuh tuntutan, penyampaian kritik yang apa adanya (bisa jadi kasar, keras, dan tanpa empati). Kalaupun perasaan kita terlukai saat di tempat kerja, biasanya berakhir dengan kita telan saja meski pedih. Berbeda jika perasaan kita yang terlukai di rumah tangga, wajib butuh penyelesaian.

    Dunia kerja selalu menuntut kita untuk cepat memperbaiki diri atas kekurangan atau kesalahan. Sedangkan di rumah tangga, kekurangan dan kesalahan (kecil) banyak berakhir dengan pemakluman dan langkah saling melengkapi kekurangan pasangan. Hal-hal yang membutuhkan kelapangan hati, sehingga kalau kita tidak bisa membedakannya, kehidupan di rumah pun akan sangat melelahkan dengan semua tuntutan untuk sempurna.

    Salut untuk para pencari nafkah yang harus mengganti settingannya setiap hari. Tegas dan keras di pekerjaannya namun harus berlemah lembut saat bersama pasangan dan anak. Terbiasa menuntut cepat pada kolega, namun harus penuh pemakluman dan sabar pada pasangan dan anak. Belum lagi tuntutan untuk memisahkan keduanya. Masalah di kantor tidak dibawa ke rumah, dan masalah di rumah tidak dibawa ke kantor.

    Setelah merasakan keduanya..

    Bagiku, keduanya punya kelelahannya masing-masing. Punya kejenuhannya masing-masing. Jika di pekerjaan kita lelah menuruti tuntutan bos, di rumah pun kita lelah melayani seisi rumah. Jika di pekerjaan kita dituntut untuk sempurna sebagai individu, di rumah pun kita lelah dengan tuntutan peran sebagai seorang ibu dan istri. Di pekerjaan kita jenuh dengan rutinitas pergi dan pulang kantor, di rumah pun kita lelah dengan pekerjaan monoton. Dua-duanya juga memiliki kesenangannya masing-masing. Di kantor kita bisa terus mengasah skill, menemukan hal baru setiap hari, bertemu banyak orang. Di rumah kita bisa mengatur tempo kita sendiri, masih bisa tidur siang meski hanya sebentar, dan terbebas dari rasa bersalah dan cemas karena anak dan rumah yang menjadi tanggung jawab utama dalam pengawasan kita selama 24 jam.

    Bagiku tidak semua kebuntuan dan kejenuhan ibu rumah tangga solusinya adalah kembali bekerja. Sebab ada begitu banyak yang harus kita perhitungkan dan korbankan ketika waktu kita tersita untuk mengabdi pada orang lain. Aku akan menjalankan peranku sebagai Ibu Rumah Tangga sampai waktu yang Allah takdirkan aku harus kembali bekerja (situasi darurat). Jika memang tiba waktunya harus kembali bergelut dengan dunia luar, ya sudah kita jalani kembali. Sungguh pengalaman kerja yang pernah kita cicipi menjadi modal untuk berempati pada pasangan dan mendidik anak-anak untuk siap dengan dunia profesional. Tentunya modal untuk diri sendiri jika suatu saat harus menjalankan situasi darurat.

    Semoga Allah berkahi semua lelah hebatmu yang menjalankan dua dunia ini sekaligus 🙂

    Gita Nadia Motherhood

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *