Dua puluh empat jam kita habiskan di balik tembok rumah. Kadang sudah tidak tahu hari apa, tanggal berapa, dan bulan apa. Akhir pekan dan tanggal merah tidak ada bedanya. Mengurus pekerjaan harian yang besok akan muncul lagi, mengurus kebutuhan hidup seisi rumah dari buka hingga tutup mata. Semuanya bergantung pada satu hal dari diri kita, tapi kita selalu lupa memprioritaskan ini.

pexels-photo-5996924-5996924.jpg

Tubuh yang sehat dan kuat ternyata jadi modal paling utama mengarungi pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Bagiku yang tenaganya terbatas dan mudah sakit, sejak dulu sebelum menikah selalu menghindari pekerjaan-pekerjaan yang sebagian besar menuntut fisik. Selalu memilih pekerjaan yang modalnya pikiran. Profesi peneliti adalah jalan ninjaku dengan kegiatan lebih banyak duduk di depan laptop, sesekali mobilitas, seharian membakar kalori dengan berpikir. Selama pikiranku bahagia dengan pekerjaan yang dilakukan, tubuh ini ikutan kuat dengan sendirinya. Meski kadang akhirnya tetap tumbang, tapi tumbang yang sifatnya karena lelah yang sudah bertumpuk. Mungkin juga usia muda memang menyumbang energi besar jadi sebanyak apa pun pekerjaan di masa itu, imunitas masih tinggi dan energi berlimpah.

Sebelum kehadiran anak, semua aktivitas rumah sangat bisa diatur. Aku bisa mengatur kapan mengerjakan pekerjaan kantor dan kapan mengerjakan pekerjaan rumah. Saat sudah resign pun, lebih banyak waktu istirahat dibanding lelahnya. Jadi saat kehadiran anak pertama, tubuhku amat sangat kaget dengan kelelahan fisik mengurus bayi dan pekerjaan rumah. Padahal urusan rumah sudah ku kurangi standarnya sampai standar minimal, tapi lelahnya tetap saja tidak terkalahkan.

Satu tahun pertama punya bayi adalah tahun terberat dengan semua penyesuaian itu. Seringkali aku ketiduran seperti orang pingsan. Setelah bangun dari tidur pun tidak segar, lelah sepanjang hari, mudah kram otot, badan sakit-sakit, dan kesemutan pada area tertentu. Sinyal tubuh sudah jelas menunjukan ada yang salah dengan tubuhku, tapi entah mengapa dulu sama sekali tidak terpikirkan untuk memperhatikan kondisi tubuh sendiri. Begadang tidak ada habisnya. Sampai ada di titik rasanya kurang tidur yang parah sekali sampai tercetus di dalam hati “rasanya kayak mau mati”. Ya, aku lebih sering merasa nyawa seperti sudah diujung saat begadang-begadang tiada akhir ini dibandingkan saat melahirkan. Kelelahan ekstrim yang aku rasakan itu kubiarkan berlalu. Tidak ingat berapa lama aku mengalami kelelahan fisik yang seperti itu, yang aku ingat butuh waktu sekitar dua setengah tahun kemudian untuk pulih secara mental (perubahan mental aku ceritakan nanti ya).

Setelah pikiranku sudah lebih stabil (sudah tidak menangis lagi mengingat masa-masa penyesuaian itu) aku mengevaluasi lagi pengalaman itu. Aku takut merasakannya lagi ketika ada anak ke dua dan seterusnya. Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan, tentu harus kulakukan demi tidak merasakan hal itu lagi. Setelah coba dirunut ulang, ternyata hal yang paling mendasar adalah kesehatanku yang tidak memadai karena pola makan yang berantakan, tidak didukung dengan konsumsi vitamin, dan juga tidak berolahraga. Paduan sempurna kondisi fisik yang lemah untuk mengerjakan begitu banyak pekerjaan fisik. Halah, memangnya pekerjaan fisik apa aja sih yang dilakukan di rumah?

g59d69b8f49ac0cf9920dfceea4dfdec9aef3cb0ceacf7a58f2b405360aba9b7bb0c0c9e64c349bd00b8c9a5a63391d46ff3cb6e525c4e73c16d41517f5d28bb5_1280-3732264.jpg

Terlihat sepele, tapi pekerjaan membersihkan dan mengurus rumah dari luar sampai dalam itu bisa memakan waktu berjam-jam tanpa duduk. Sekalinya rebahan baru sadar ternyata sudah bergerak empat atau bahkan enam jam. Pekerjaan yang membuat kita berdiri, menunduk, berjongkok lalu berdiri, berjalan jongkok, mengangkat-angkat barang, menyikat-nyikat dan sebagainya. Semuanya membutuhkan otot-otot tubuh yang kuat dan postur atau sikap tubuh yang benar.

Saat memiliki bayi, tubuh kita sangat lelah. Sangat kekurangan tidur, waktu makan berantakan, harus terus menggendong dan menyusui. Saat ia mulai merangkak, kita harus ikut merangkak. Saat ia belajar jalan, kita harus ikut jalan dengan terus-terusan dalam posisi jongkok-berdiri berulang-ulang. Saat ia mulai berlari kita ikut berlari. Saat ia mulai memanjat, kita harus waspada untuk gerak cepat menangkap kalau anak kehilangan keseimbangan. Fisik, fisik, dan fisik. Kekuatan dan kesehatan tubuh sangat diminta untuk mengerjakan itu semua.

Selama kehamilan anak ke dua alhamdulillah Allah memberikan kehamilan yang sehat, santai, dan sangat minim keluhan. Sangat berbeda dengan kehamilan pertama yang harus sangat dijaga. Di kehamilan kedua ini tubuhku nampaknya sudah beradaptasi dengan sangat baik pada hormon-hormon kehamilan. Masa kehamilan anak kedua seperti berlalu begitu saja. Tibalah masa yang aku cukup cemaskan yaitu di masa setelah melahirkan. Apakah pengalaman yang dulu akan terulang kembali? Aku seringkali berdoa memohon agar Allah berikan masa post-partum yang ringan. Memohon agar pengasuhan newborn berjalan lancar karena aku pun tetap harus memenuhi kebutuhan anak pertama yang dalam masa toddler-nya.

Semenjak hamil aku sudah menguatkan tekad untuk rajin minum vitamin, kalsium, booster asi, dan tablet penambah darah setelah melahirkan nanti. Sebagian sudah dicicil sejak masa kehamilan. Berjanji untuk rutin dengan asupan itu. Alhamdulillah, selama satu tahun kelahiran anak ke dua kesehatanku jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Aku tidak lagi merasakan kelelahan ekstrim yang seperti dulu. Meski di sisi lain, kelahiran anak kedua yang harus SC Cito ini membuat tubuhku terasa lebih lambat pulih dibandingkan saat lahiran anak pertama (normal). Tenaga dan kebugaran tubuh ini seperti tidak kembali secara utuh sebagaimana setelah lahiran normal. Sehingga kini aku punya PR tambahan untuk menguatkan tubuhku kembali. Harapannya, agar hari-hari dapat ku jalani dengan lebih baik dan suatu saat bisa kembali melahirkan secara normal.

g5e837fee686db09e1ad085cbbcfa6ac2ac5dd8b981321130ad86e8a8d43e05a46212f5ed8dfe42193d8f5efc16e82358df70fb5f578a544498e7c6524d98ff1d_1280-4182974.jpg

Alhamdulillah, saat mendekati lahiran aku sudah memiliki ART. Jadi setelah melahirkan, aku sangat fokus mengurus keperluan anak dan mengurus diri. Meski pulihnya lebih perlahan, tapi secara keseluruhan aku bahagia sekali bisa terbebas dari kelelahan ekstrim. Proses mengurus anak ke dua pun tanpa sadar berlalu dengan cepat hingga anaknya akan berusia satu tahun (di bulan depan). Aku bahagia mengingat sepanjang tahun ini. Ternyata kesehatan tubuh kita sepenting itu untuk kita prioritaskan. Saat tubuh kita sehat, kita pun merasa senang dan jauh lebih siap menghadapi berbagai lika-liku mengasuh anak dan mengurus rumah. Tidak kusangka ternyata semua urusan kita ini sangat bersandar pada kesehatan dan ketangkasan yang se-serius itu. Jangan lupa ya bu, prioritaskan kesehatanmu..

Dan untuk para suami…

Kamulah yang harus paling peduli untuk semua perjalanan perubahan fisik dan psikis pasanganmu. Tolong dengan sangat ya! Sebab apa? Orang di luar sana, mana peduli! Terutama urusan kehidupan ibu-ibu. Para ibu dituntut sempurna, harus menjadi manusia super yang melakukan semuanya tanpa bantuan. Saat ada ART, tiba-tiba para istri ini seperti tidak berhak untuk lelah atau kewalahan. Saat sudah dia lakukan semua pun, tetap bukanlah hal yang wah. Terutama karena semua orang melakukan apa yang dia lakukan.

Saat mengurus anak, orang sibuk menanyakan progres anakmu. Sibuk pula mengasihani rumahmu yang mungkin tidak terlalu terawat. Sibuk mengomentari penampilan para ibu yang bak zombie. Tidak ada yang menanyakan kabarnya, pikirannya, perasaannya. Sebab buat orang lain, itu semua tidak penting. Para istri pun kemudian meyakini bahwa itu tidak penting. Mereka pun otomatis memendam dan mengubur saja semua badai perasaan itu. Tetap menjalankan tugas-tugasnya meski dengan fisik dan psikis yang melayang-layang.

Ingat ini ya. Saking banyaknya pekerjaan mengurus seisi rumah, mau dibagi berdua atau bertiga pun mereka akan tetap lelah. Mereka akan tetap kewalahan. Coba hitung berapa anggota keluargamu di rumah? Berapa orang yang mengerjakan pekerjaan A-Z mengurus seisi rumah? Apakah kamu akan tega bilang mereka tidak berhak lelah karena pekerjaan itu sudah dibagi berdua atau bertiga? Kalau iya, wah berarti kamu harus merasakan langsung bagaimana menggantikan posisi itu secara penuh.

Jadi janganlah mengecilkan perasaan para pasangan yang lelah. Dia hanya sedang kelelahan. Dia bukan orang yang tidak bersyukur akan kehidupan yang kamu berikan untuknya, bukan pula orang yang sedang menggugat seluruh usaha kerjamu, bukan juga orang yang menolak atau ingin kabur dari tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Dia hanya lelah.. Peduli dan berbelaskasihlah..

Gita Nadia Motherhood

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *