Membina keluarga hari ini sangatlah bising. Hari ini, perempuan sibuk menghujat sesamanya mengenai tanggung jawabnya sebagai ibu. Para laki-laki sedang sibuk dibangunkan untuk bisa hadir dan berperan dalam rumah tangganya. Ditambah lagi lautan opini bernada negatif tentang kehadiran anak dalam rumah tangga. Mulai dari pertimbangan menyulitkan kondisi finansial, menilai diri bukanlah orang tua yang baik, beranggapan bahwa anak akan menderita hidup di dunia ini, merasa berdosa melahirkan anak ke dunia yang kacau ini, merasa hidup sudah lengkap jadi tidak butuh kehadiran anak sebagai alasan kebahagiaan, sampai beranggapan bahwa anak hanyalah beban. Narasi keinginan pasangan-pasangan muda untuk tidak memiliki anak santer terdengar beberapa waktu ke belakang. Bahkan mungkin hal ini pun mulai sering kita temukan di sekeliling kita sendiri.

Kehadiran Anak: Maunya Siapa?

Beruntungnya kita sebagai muslim adalah sudah dijelaskan bahwa anak adalah pemberian dari Allah. Bahkan ternyata, kita diperintahkan untuk berusaha memiliki anak dengan cara menikah dan melakukan hubungan suami istri untuk mengetahui takdir kita tentang memiliki keturunan (cek artikel ini). Kita ditugaskan untuk berusaha, tapi tidak ada yang tahu apakah kita akan diberikan anak atau tidak. Allah yang menentukan siapa yang diberi anak perempuan, siapa yang diberi anak laki-laki, siapa yang diberi keduanya (anak laki-laki dan perempuan), dan siapa yang tidak diberi anak sama sekali.

Meski selama ini kesehatan kita baik-baik saja. Meski secara latar belakang keluarga kita berdua adalah orang yang “subur”. Tetap saja, kita tidak tahu apakah kita ditakdirkan memiliki anak atau tidak. Kita juga tidak tahu kapan tepatnya Allah memberikan anak di pernikahan kita. Apakah dalam waktu singkat atau ditunda hingga waktu tertentu. Kesadaran ini yang menurutku harusnya sudah ada bahkan sebelum menikah. Bahwa urusan kehadiran anak adalah urusan kehendak Allah, bukan mau atau tidak maunya kita sebagai calon orang tua.

Ketika menyadari kehadiran anak adalah misteri, satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah.. persiapan. Bersiap jika kita diberikan anak dan bersiap pula jika kita tidak diberikan anak. Bersiap jika diberikan dalam waktu cepat, bersiap pula jika ditunda sampai waktu yang kita tidak ketahui. Bersiap jika diberi anak laki-laki dan bersiap jika diberi anak perempuan. Sebab kita tidak tahu apa yang akan datang.

Mau selantang apa pun kita mengatakannya dan mencegah kehadiran anak, kalau Allah menakdirkan anak akan hadir ya kamu akan hamil. KB bukanlah alat super power pengendali dunia ini. Selama kita melakukan hubungan suami istri, selama itu juga selalu ada potensi anak akan hadir, mau secanggih apa pun metode KB yang digunakan.

Begitu juga sebaliknya. Sebesar apa pun keinginan kita untuk memiliki anak, jika Allah takdirkan ditunda atau tidak diberi sama sekali maka itulah takdir kita. Sebesar itu persiapan kita jika diberikan anak, maka sebesar itu juga kita harus menyiapkan diri jika kita tidak dititipkan anak. Dua-duanya bukanlah hal yang mudah. Kita sama-sama tidak tahu apa yang menjadi takdir kita. Maka bukalah diri untuk apa pun yang mungkin akan datang. Minimal bersikap netral.

Apa Yang Sebenarnya Kita Khawatirkan?

Terkadang, nada penolakan tentang kehadiran anak isinya dipenuhi nada kecemasan dan ketakutan. Cemas dan takut yang tidak diproses. Padahal jika diproses dengan baik, akan kita temukan sumber cemas dan takutnya yang bisa kita cari solusinya. Satu-satunya cara menyelesaikan ketakutan dan kecemasanmu ya dengan mengenali sumbernya lalu menghadapinya dengan p-e-r-s-i-a-p-a-n. “Apa yang bisa saya lakukan untuk menghadapinya?” adalah pertanyaan kunci. Takut finansial tidak mencukupi, maka apa yang bisa kita lakukan untuk menyiapkannya? Takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik, maka tanyakan kembali apa itu orang tua yang baik dan bagaimana kita menyiapkan diri ke arah sana? Jadi, seharusnya respon dari rasa takut adalah menyiapkan diri. Bukan takut lalu tinggalkan.

Kalau permasalahannya adalah merasa tidak memiliki ketertarikan atau chemistry dengan anak-anak, memang betul bahwa tidak semua orang memiliki ketertarikan natural dengan anak-anak. Ada sebagian orang yang memang dekat dan luwes sekali dengan anak-anak. Bak malaikat pokoknya. Tapi banyak juga yang tidak. Bisa jadi karena tidak terbiasa dengan kehadiran anak di sekitarnya.

Ditambah pula bila kita tidak memahami dunia anak itu sendiri. Kita akan mudah terganggu dengan semua hal yang datang dari anak-anak. Kita menggunakan ukuran-ukuran orang dewasa dalam menilai anak-anak. Jadi terkadang yang kamu maksud dengan tidak cocok jadi orang tua atau tidak cocok dengan anak-anak, sebenarnya persoalan pengetahuan dan pembiasaan lingkungan. Sesuatu yang bisa kita usahakan. Semakin kita mengerti anak-anak, semakin tumbuh empati dan kasih sayang terhadap anak-anak. Dari sanalah, biasanya sikap kita akan berubah dalam menghadapi anak-anak.

Di sisi lain, ungkapan “tidak cocok jadi orang tua” sebenarnya tentang anggapan pribadinya bahwa orang tua itu haruslah sosok yang sempurna. Betul bahwa anak-anak berhak mendapatkan orang tua yang terbaik. Tapi nyatanya, tidak ada orang tua yang sempurna. Semua orang tua berproses menjadi “sempurna” seiring berjalannya waktu dalam pengasuhan. Bukan harus sempurna sejak awal. Semua orang tua pasti melakukan kesalahan. Tentu kita usahakan bukan kesalahan-kesalahan fatal yang mendasar. Kesalahan yang sifatnya lebih kepada uji coba metode mana yang paling sesuai untuk diri dan anak-anaknya.

Praktek pengasuhan tidak seindah teori. Setelah kita mengasuh anak secara nyata, barulah kita pahami ternyata kondisi yang kita hadapi bisa saja jauh sekali dari ukuran ideal teori. Di situlah kita sebagai orang tua berpikir keras dan berusaha bagaimana agar pengasuhan tetap bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Kita harus mencari metode mana yang paling pas untuk pengasuhan keluarga kita sendiri. Uji coba metode ini dan itu bukanlah aib. Memang itulah prosesnya. Jadi bukalah diri untuk siap belajar secara teori dan prakteknya. Bukan menghakimi diri tidak bisa bahkan menuntut diri harus sempurna sejak awal.

Ada lagi anggapan tidak membutuhkan anak untuk bisa bahagia. Betul. Anak bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan di dunia ini. Anak adalah salah satu kebahagiaan yang Allah ciptakan. Kalau ada yang bilang anak adalah puncak kebahagiaan, berarti sumber kebahagiaan terbesar buat hidupnya adalah anaknya. Pernyataan itu pun tidak salah. Berarti memang seperti itulah makna yang ia dapatkan dalam perjalanan pengasuhannya. Kamu bisa setuju atau tidak setuju dengan pemaknaan orang tersebut.

Di rumah tangga yang lain, ada juga yang memiliki anak bukan soal kebahagiaan. Ternyata mereka menemukan pemaknaan tentang pertumbuhan diri yang sangat besar sebagai orang tua. Kehadiran anak memberikan kita proses menempa diri yang tidak ada habisnya untuk menjadi sosok yang lebih baik lagi. Kamu bisa setuju atau tidak setuju dengan pemaknaan ini juga.

Arti kehadiran anak dalam hidup seseorang bisa sangat beragam. Tiap pasangan akan punya pemaknaan yang berbeda-beda. Bahkan suami dan istri pun bisa menarasikannya dengan cara yang berbeda. Kalau kamu merasa tidak cocok dengan bagaimana orang lain menjelaskan arti kehadiran anak bagi mereka, maka temukan sendiri maknanya di hidupmu.

Jadi yuk mulai belajar untuk memproses pikiran-pikiran kita sendiri. Mulailah untuk berdialog dan pertanyakan ulang anggapan-anggapan kita sendiri. Apa yang sebenarnya kita takutkan atau cemaskan? Apa yang sebenarnya kita khawatirkan? Kalau menemukan satu opini, carilah opini lainnya juga supaya berimbang. Cari faktanya dan carilah konsep sebenarnya yang sudah Allah berikan. Jangan sampai kita terburu-buru memutuskan sesuatu yang ternyata landasan konsepnya saja sudah tidak tepat. Tidak perlu juga terburu-buru dalam memutuskan karena sangat mungkin keinginan kita hari ini kemudian berubah di masa yang akan datang. Yuk mulai biasakan untuk bersikap terbuka dan menyiapkan diri untuk apa pun yang bisa terjadi di perjalanan kita.

Rasa takut dan khawatir itu bukankah pertanda baik bahwa kita sadar dan peduli pada hak anak? Semua rasa takut dan khawatir itu insyaallah ada jawabannya. Pertanyaannya adalah, apakah kita mau menempuh jawaban dan penyelesaian itu?

Gita Nadia Parenthood

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *