Kalau kamu bisa lelah luar biasa karena pekerjaan atau tuntutan tiada henti di kantor, maka begitu pula lah seorang ibu atau kedua orang tua yang juga bisa mengalami kelelahan luar biasa dalam hal pengasuhan. Siapa yang paling banyak porsi dan intensitas pengasuhannya, maka dia yang lebih tinggi potensi kelelahannya baik secara fisik, mental, dan emosional. Kelelahan ini disebut parental burnout. Lelah jiwa dan raga. Sampai tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk memberi.
Sayangnya, kelelahan dalam pengasuhan selalu dinilai hal biasa bahkan bukanlah perkara besar, apalagi untuk dibesar-besarkan. Saat orang yang bekerja mengalami kelelahan lahir batin, orang-orang sangat memaklumi, menerima, dan bersimpati. Bahkan berusaha untuk memberikan penghiburan atau apa yang bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Sedangkan para ibu atau orang tua yang mengalami kelelahan pengasuhan merasa malu dan bersalah karena telah merasa lelah dengan tanggung jawab pengasuhannya. Orang-orang membuka telinganya ketika kamu lelah karena pekerjaan. Tapi orang-orang menutup telinganya saat kamu lelah dalam pengasuhan. Keluhanmu hanyalah nada-nada sumbang di telinga mereka.
Bukankah harusnya seorang ibu selalu penuh kasih sayang, senang, serta bahagia bersama anak-anaknya? Begitu yang terlanjur ada di benak para ibu dan mungkin juga di benak banyak orang. Semakin merasa kelelahan, semakin merasa menjadi orang tua yang lemah dan buruk. Kok bisa merasa lelah dengan anak sendiri? Pergumulan perasaan yang kemudian ditumpuk begitu saja tanpa penyelesaian atau berpikir untuk meminta bantuan. Yang sebenarnya hanya akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan pun, dan justru memberi daya rusak yang besar.
Kelelahan ini bukanlah kelelahan yang bisa selesai dengan tidur semata. Ini juga bukan jenuh sesaat yang reda ketika makan makanan favorit kita atau jalan-jalan. Lelah pengasuhan (parental burnout) adalah kelelahan fisik, mental, dan emosional yang menguras seluruh diri seseorang akibat tingginya tingkat stres dalam pengasuhan anak. Lalu berdampak pada emosi yang tidak stabil (gampang terpicu amarah), tingkat stres yang tinggi, lelah fisik berkepanjangan, kehilangan motivasi untuk mengasuh anak, tidak ingin ada di dekat anak, perasaan kosong atau kehabisan energi yang membuatnya tidak mampu memberi. Sang ibu bisa berubah menjadi monster, perasaan berjarak dan buntu dengan anak, bahkan merasa anak adalah ancaman.

Dalam empat tahun aku mengasuh anak pertama, ada satu titik terendah yang paling menyedihkan. Yang kemudian aku baru mengetahui bahwa ternyata titik terendah itu adalah ketika aku mengalami parental burnout ini. Titik dimana aku sebuntu-buntunya menghadapi anak sendiri. Tidak ada lagi hal yang menyenangkan dalam tugas pengasuhan. Bahkan rasanya sangat ingin terpisah saja dengan anak. Lelah fisik yang tidak menghilang, lelah mental, dan emosional untuk melayani anak. Merasa gagal setiap harinya. Di saat yang sama, tidak memungkinkan untuk memisahkan diri dari anak. Tidak bisa menghentikan semua hal yang datang dari anak. Jadi ibarat baterai yang soak se-soak soaknya tapi masih harus terus menjalankan mesin. Bahkan parahnya lagi, tidak ada tempat untuk me-recharge baterai tersebut.
Setelah bertahun dilewati, ternyata burnout yang dulu sempat aku alami itu terjadi karena kumpulan beberapa hal. Semua hal ini terjadi dalam waktu yang lama, tanpa sadar menumpuk dan tanpa penyelesaian. Pada satu titik, meledak tanpa kendali.
1. Merasa malu dan bersalah ketika merasa lelah
Saat merasa lelah fisik, tidur sudah menjadi solusi. Kalau istirahat sudah terpenuhi, lelah fisik akan hilang dengan sendirinya. Tapi setiap merasa lelah mental dan emosional, pasti selalu merasa malu dan bersalah dengan perasaan itu. Merasa bahwa hal tersebut seharusnya tidak perlu dirasakan. Merasa menjadi orang tua yang lemah sekali.
Apalagi dalam case “anak baru satu orang doang”. Wah.. kebayang kan judging-nya dunia ini? Seakan-akan orang tua yang anaknya baru satu biji tidak punya hak untuk merasa lelah dan mengeluh. Perasaan-perasaan itu otomatis dilawan dan dikubur saja, karena mau dibawa kemana? Orang yang mendengarnya hanya akan mengatakan bahwa itu memang konsekuensi punya anak. Kalau tidak mau lelah ya jangan punya anak, atau mulai dibanding-bandingkan dengan capeknya orang lain. Respon-respon yang sungguh tidak diperlukan, di saat kita lelah se-lelah-lelahnya.
2. Tidak tahu bahwa perasaan lelah dalam pengasuhan adalah hal yang memang bisa terjadi
Saat itu aku tidak tahu sama sekali bahwa yang namanya kelelahan dalam pengasuhan itu memang sesuatu yang bisa terjadi. Bahwa burnout ternyata tidak hanya pada lingkup pekerjaan, tapi dalam pengasuhan pun memang bisa terjadi. Perasaan kewalahan itu terlalu nyata untuk kamu tolak, tapi terlalu membingungkan untuk kita pahami. Sebab pikiran kita pasti bilang, ya masa lelah sama anak sendiri?
Jadi dulu aku terus menolak perasaan itu. Merasa bahwa perasaan dan masalah ini bukanlah hal yang penting. Kalau pun aku sampaikan ke orang lain, memangnya orang lain bisa berbuat apa? Di luar sana juga ada banyak permasalahan yang lebih penting dari pada permasalahanku yang “cetek” ini. Saat lelah pun aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sudahlah tidak tahu apa masalahnya , tidak tahu pula harus berbuat apa.
3. Tertekan dengan persoalan-persoalan tumbuh kembang anak yang tidak terselesaikan
Permasalahan makan anak yang tidak kunjung menemukan solusinya, perbaikan, apalagi terselesaikan. Masalah yang sama dihadapi setiap harinya. Ditambah lagi merasa banyak PR stimulasi anak. Merasa kurang memberikan stimulasi ini dan itu. Terkadang sudah diupayakan, namun apa yang sudah kita siapkan tidak direspon anak sebagaimana yang kita harapkan.
4. Sudah berusaha dalam menyelesaikan masalah tumbuh kembang anak tapi seperti tidak ada yang menunjukan hasil
Kebuntuan demi kebuntuan yang dirasakan sungguh memberikan stres yang menetap
5. Periode perlawanan anak
Saat usianya mendekati 3 tahun, periode perlawanan dimulai dengan semua respon anak berupa kata “enggak”. Bagaimanapun kita berusaha mengajak/menawarkan/meminta anak, kata “enggak” adalah jawaban otomatisnya. Jawaban yang penting keluar dulu aja dah, belakangan baru dipikirin. Saat jawaban “enggak” adalah jawaban yang ratusan kali dalam sehari kamu terima dari anak, yakin bisa terus menjadi malaikat? Setiap hari kehabisan akal hanya agar anak mau mendengarkanmu dan mau bekerja sama.
6. Tidak bisa punya jeda dengan anak
Maksudnya di sini adalah jeda yang benar-benar berarti ya. Jeda kita dengan anak apa banget sih? Saat kita mengerjakan pekerjaan rumah dan saat tidur bukan? Sisanya? Ya tidak ada jeda. Artinya? Kita tidak benar-benar lepas dari anak. Karena jeda itu pun kita gunakan untuk mengerjakan pekerjaan lain atau sekedar istirahat. Tidak ada yang benar-benar bisa membuat refresh di jeda-jeda singkat yang kita punya. Bahkan tidur pun tidak menjadi penawarnya. Di saat kita lelah mental dan emosional, kita tetap harus mengurus anak. Kita terus-menerus secara fisik dekat dengan anak dan terus-menerus harus menghadapinya. Padahal kita tidak punya tenaga untuk menghadapi semua yang datang dari anak.
7. Setiap hari menghadapi permasalahan yang sama
Setiap hari adalah hari-hari yang sama. Aktivitas yang sama, tempat yang sama, bahkan masalah yang sama.
8. Tidak bisa mengapresiasi diri karena merasa melakuan rutinitas harian yang tidak berguna
Hari-hari dihabiskan dengan rutinitas yang sama dari buka mata sampai tutup mata. Saat segala hal sudah menjadi rutinitas, semua jadi terasa biasa, dan itu semua sulit untuk diri sendiri apresiasi. Segala sesuatu terasa “memang sudah seharusnya dilakukan”, sesuatu yang tidak penting, sesuatu yang seperti… tidak “wah” manfaatnya.
9. Kehilangan mekanisme release tension dan re-charge.
Setelah punya anak, aku mendadak lupa dengan diri sendiri. Lupa bahwa dari dulu pun sudah biasa dengan situasi di bawah tekanan. Tapi dulu aku bisa bertahan di tengah stres tinggi karena ternyata mekanisme release tension dan re-charge diri benar-benar dijalankan. Saat punya anak, aku malah lupa itu semua. Aku lupa apa yang bisa membuat aku release semua lelah dan stres. Aku lupa apa hal yang bisa membuat aku re-charge. Aku sampai harus berusaha mengingat-ingat kembali bagaimana caraku dulu tetap bertahan di bawah tekanan.
Sesibuk itu isi kepala ibu baru. Hari-hari yang terus bergulir membuatku tidak sempat untuk mengolah pikiran dan perasaan sendiri. Semua ditumpuk, ditolak, dibuang, entah kemana. Saat pengasuhan memicu stres tinggi secara berkelanjutan, kebayang dong tidak sehatnya diri ini. Seperti memanaskan pressure cooker yang tidak punya lubang pembuangan tekanan udara. Sudah pasti akan meledak bukan?
10. Tidak memanfaatkan waktu yang untuk kegiatan bermakna untuk diri sendiri
Salah satu kebiasaan burukku adalah tidak memanfaatkan waktu luang sebagai waktu yang bermakna untuk diri sendiri. Yang aku lakukan justru sekedar balas dendam. Balas dendam dengan melakukan apa yang ingin aku lakukan atau tidak melakukan apa pun. Nyatanya, ini hanya memberikan kesenangan sesaat. Bukan menjadi penawar lelah yang sebenarnya. Seharusnya aku memanfaatkan waktu luang dengan hal yang benar-benar menjadi penawar lelah dan mengembalikan tenaga untuk bisa kembali mengerjakan tanggung jawab sebagaimana mestinya.
Terus…? Saat sudah terlanjur meledak karena kelelahan, apa yang dilakukan?
Saat itu aku menitipkan anak di rumah orang tua, sampai aku lebih tenang. Jelas, saat itu aku sudah tidak bisa melakuan tugas pengasuhan lagi. Maka sebaiknya anak dititipkan ke tempat yang bisa kita percayakan untuk menggantikan aku mengasuh anak. Secara sadar aku mengupayakan mencari bantuan untuk diri sendiri, menangis sebanyak-banyaknya, serta tidur selama yang aku mau. Pergi berdua saja dengan suami. Ngobrol berdua yang lama dengan suami. Lalu saat sudah lebih bisa tenang, kami menetap beberapa hari di rumah orang tua agar beban pengasuhan terbagi dahulu. Setelah beberapa hari, baru kembali ke rumah untuk kembali beraktivitas seperti biasa.
Saat sedang tidak baik-baik saja pun, kita tetap tidak bisa berlama-lama. Kalau terlalu lama, tentu kasihan dengan orang-orang yang menggantikan tanggung jawab kita. Ujung-ujungnya istirahat sebentar dan semua diproses sambil jalan. Setelah dilalui, sulit untuk mengatakan bahwa kelelahan pengasuhan hanyalah stres atau kelelahan biasa. Sulit untuk menganggapnya tidak ada, tidak penting, atau bukan masalah besar. Karena nyatanya, saat tidak diproses dan diselesaikan justru melumpuhkan pengasuhan itu sendiri.
Jadi.. mari saling peduli.. Saling menerima bahwa lelah pengasuhan itu memang nyata. Ambil pelajaran dari yang aku sebutkan di atas dan cobalah untuk menghindari kesalahan yang aku lakukan. Di kasus orang lain bisa jadi lebih kompleks lagi. Misal adanya masalah dengan pasangan, masalah ekonomi, masalah dari pihak lain di luar rumah tangga, dan sebagainya. Tapi, tanpa harus sekompleks itu pun, pengasuhan kita yang 24×7 sudah melelahkan dengan sendirinya Bu. Tidak perlu harus rumit sekali permasalahannya untuk dianggap berhak merasakan kelelahan. Karena menjadi ibu saja sudah berat.
Semoga Ibu semua bisa melalui pengasuhan anak pertamanya dengan sehat ya bu.. Semoga jangan sampai keburu meledak baru peduli dengan diri sendiri. Semoga Allah lancarkan dan mudahkan kita menjalankan tugas-tugas kita semua. Aamiin..