Kalau berkaca dari apa yang aku lalui, saat sudah terlanjur mengalami parental burnout, kita itu kayak panci pressure cooker yang bertekanan tinggi oleh uap panas di dalamnya. Kalau tutup pancinya tiba-tiba dibuka, sudah pasti meledak bukan? Maka cara paling aman membukanya adalah dengan mengeluarkan semua uap panas di dalam melalui katup udara yang ada di panci. Setelah semua uap panas selesai keluar, barulah kita buka penutup panci untuk melihat kondisi di dalamnya. Begitupun kita saat sudah mencapai titik kelelahan itu. Keluarkan dulu semua emosi negatif sampai habis. Barulah kita buka diri untuk evaluasi di dalamnya.

Kalau aku? Sayangnya, dulu aku sudah terlanjur meledak. Mirisnya, saat itu aku ibarat panci presto yang terus-menerus dipanaskan bahkan tanpa memiliki katup pembuangan udara. Karena sudah terlanjur meledak, jadi mari kita keluarkan sisa uap panasnya dan tunggu hingga dingin. Keluarkan dulu semua emosi yang masih ada di dalam diri (release). Saat itu, caraku mengeluarkannya ya menangis sebanyak-banyaknya. Ngobrol dengan suami, keluarin semua yang dirasakan. Kalau kamu punya cara lain, misal dengan olahraga ya boleh juga. Pokoknya apa yang ada di dalam, keluarkan dulu. Sampai dada dan pikiran rasanya lebih ringan.
Setelah itu, aku melakukan hal-hal yang bisa mengembalikan energi (re-charge) yaitu tidur sebanyak yang yang aku perlu, makan makanan yang aku suka, ngobrol dan pergi berdua dengan suami. Setelah dingin, aku merasa lebih siap untuk bertemu anak. Kami menyusul anak di rumah orang tua. Selama beberapa hari menginap dulu di rumah orang tua agar beban pengasuhan terbagi. Sambil aku juga meminta bantuan profesional. Setelah dirasa lebih siap lagi, kami kembali ke rumah untuk beraktivitas seperti biasa.
Apakah saat itu masalahnya selesai? Tidak. Aku tetap merasa ada yang mengganjal. Saat itu prioritasku hanyalah jangan sampai lama-lama membebani orang tua. Aku harus bisa secepat mungkin kembali mengasuh anak secara penuh. Jadi aku berusaha secepat yang aku bisa untuk tenang dan siap beraktivitas seperti biasa di rumah. Mungkin karena efek “terlanjur meledak”, jadi yang paling bisa dilakukan saat itu hanya menunggu dingin. Kalau memaksa untuk merapikan diri di saat itu juga, aku pun gak akan siap. Lah wong pikirannya aja masih berantakan. Jadi yang paling utama ya bagaimana supaya aku tetap bisa beraktivitas dulu. Bisa berfungsi dulu aja. Sisanya, kita proses ini semua sambil jalan.
Waktu berlalu dan kejadian itu menggantung begitu saja. Momen itu meninggalkan lubang yang menganga tanpa tahu harus diapakan. Sampai suatu waktu aku dapat kesempatan pendampingan dan barulah mengerti bagaimana harus memproses itu semua dan berusaha mencegahnya supaya tidak terulang kembali.
1. Penerimaan
Hal yang paling pertama yang menyadarkanku adalah setiap orang memiliki dinamika hidupnya masing-masing. Setiap ibu punya tantangannya masing-masing. Ditambah lagi, tugas pengasuhan memang sudah berat dari sananya. Jadi setiap kita yang mengasuh PASTI merasakan beratnya tugas ini dengan versi masing-masing juga. Di satu titik, wajar kalau kita merasakan lelah. Yuk kita terima, bahwa para ibu juga memang bisa kelelahan. Sebagaimana para ayah yang bisa kelelahan dengan tuntutan pekerjaan yang tidak ada habisnya.
Selain itu, aku belajar untuk menerima semua emosi yang muncul di dalam diri. Akui dan terima perasaan-perasaan sedih, marah, kecewa, takut, cemas, dan semua emosi lainnya yang muncul. Terima tanpa penghakiman kepada diri sendiri. Setelah itu coba atur respon-respon yang muncul. Kalau kita marah, respon tingkah laku apa yang keluar? Kalau kita kecewa, respon apa yang muncul? dan seterusnya
2. Kembali pada Tujuan
Aku diminta untuk mengingat kembali apa tujuan-tujuanku di dalam hidup. Apa tujuan pengasuhanku? Aku ingin menjadi orang tua yang seperti apa? Aku ingin anakku menjadi anak seperti apa? Hubungan seperti apa yang aku inginkan antara anak-orang tua? Apa hal yang ingin aku capai dalam pernikahan? Apa yang ingin aku capai dalam aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, agama, dan pengembangan diri?
Di momen inilah aku baru menyadari bahwa ternyata selama pengasuhan anak, aku menjadikan dunia pengasuhan sebagai satu-satunya fokus di hidupku. Saat pengasuhan berantakan, aku merasa segalanya jadi berantakan. Padahal yang sedang berantakan hanya soal pengasuhan, bukan berarti semua hal dalam hidup. Aku selalu merasa tak sempat memikirkan hal lain. Di luar dari pengasuhan, rasanya bukan lagi hal yang penting. Jadi saat diminta mengingat lagi tujuan atau harapan-harapan pribadi, aku malah bingung dan mempertanyakan dalam diri “memangnya ini penting?”.
Setelah direnungi, tujuan-tujuan inilah yang justru semakin membuat kita fokus dalam menjalankan berbagai tugas dan peran-peran. Kita punya arah yang jelas. Punya harapan mencapai apa dan sampai mana. Yang kalau diingat-ingat lagi, inilah yang dulu biasa aku lakukan jauh sebelum menikah dan punya anak. Sejak dulu aku sudah terbiasa mengerjakan beberapa hal bersamaan. Justru mengerahkan fokus dan energi ke beberapa goals adalah hal yang membuatku sehat mental. Perpindahan fokus dari satu hal ke hal lain adalah tamasya untuk pikiranku sendiri. Memiliki beberapa goals secara otomatis mendorongku membagi tenaga, waktu, pikiran, dan perasaanku untuk terarah sesuai dengan prioritasnya. Lagi, aku lupa itu semua.
Berbeda sekali ketika aku hanya punya satu fokus. Segala hal dalam diri terserap habis ke satu hal yang ketika hal itu terganggu, maka terganggu pula seluruh diriku. Aku bersyukur selama pendampingan diingatkan lagi tentang tujuan-tujuan ini. Bagian yang sangaatt membantu menata pikiranku.
3. Harus Punya Mekanisme Release dan Re-Charge
Di masa pendampingan itu juga aku baru sadar bahwa ternyata selama pengasuhan anak, mekanisme release dan re-charge ku sangat terabaikan bahkan terlupakan. Aku bahkan lupa bagaimana caranya aku dulu bertahan di bawah tekanan jauh sebelum menikah dan punya anak. Butuh waktu untuk aku menilik ke belakang tentang apa yang membuat aku dulu jauh lebih sehat mental, padahal juga selalu ada di bawah tekanan.
Ternyata dulu aku memelihara mentalku dengan release berupa ngoceehh dengan teman-teman yang menerima semua emosiku, rutin menangis, dan menulis. Sedangkan setelah punya anak, waktu ngobrol dengan suami sudah pasti berkurang drastis, aku sulit sekali untuk menangis, dan juga berhenti menulis. Dulu aku terbiasa re-charge dengan obrolan-obrolan produktif dengan teman-teman (porsi terbesar), makan makanan kesukaan, dan mencukupi jam tidur. Saat sudah punya anak, mau ngobrol sama siapaa? Ngobrol dengan anak adalah bagian dari pengasuhan. Sedangkan yang kita perlukan adalah ngobrol sebagai orang dewasa dengan orang dewasa.
Mungkin sekarang tidak semua harus dipenuhi persis seperti dulu. Di tiap kondisi, kita harus beradaptasi bukan? Maka aku pilih satu hal yang paling powerful untuk release dan re-charge secara bersamaan, yaitu kembali pada diriku dengan.. menulis. Di saat yang sama, menulis juga seperti ngobrol buatku. Jadi saranku kalau ayah-bunda ingin menambah kegiatan, tambahlah yang sifatnya release dan re-charge. Dengan catatan: kegiatan ini tidak mengorbankan tugas-tugas utama dalam pengasuhan dan rumah tangga. Jangan sampai menambah kegiatan yang justru menambah lagi tekanan yang ada. Atau bahkan kegiatan yang justru mengundang cek-cok dengan pasangan.
4. Buat Rencana Mencapai Tujuan Diri
Setelah merapikan itu semua, alhamdulillah aku merasa jauuuhh lebih ringan dan tenang dalam menjalani tugas-tugas pengasuhan. Pikiranku lebih terarah. Tau kapan waktunya mengerjakan tanggung jawab. Tau kapan akan mengisi diri. Tau bagaimana cara mengisi diri. Aku tidak lagi merasa tugasku sia-sia, karena aku tahu bahwa semua ada tujuan yang mau dicapai, ada waktunya, dan ada tempatnya.
Aku juga punya tujuan capaian untuk diri sendiri yang membuatku release dan re-charge disaat yang bersamaan. Aku senang mengerjakannya. Bahkan excited menunggu waktu malam untuk bisa memiliki waktu produktif untuk diri sendiri. Aku tenang di saat mengasuh anak dan tenang pula menunggu waktu untuk diriku. Adanya rencana-rencana pencapaian bantu aku mengukur diri. Aku jadi tahu progresku sampai di mana dan juga merasa tenang karena aku tahu aku sudah melakukan sesuatu untuk diriku sendiri.

Terima kasih sudah mengadakan pelatihan/pendampingannya ya teman-teman Magister Profesi Klinis Psikologi UI. Terima kasih juga untuk para ibu yang sama-sama dalam kegiatan pendampingan tahun 2024 lalu. Setidaknya aku jadi tahu kalau ini semua bukan soal aku ibu yang baik, buruk, atau juga orang tua yang lemah. Ternyata aku hanya lupa dan hilang arah.